Kabar itu
Sore itu Jogja sedang diguyur
hujan yang sangat deras. Awan hitam sudah menggantung sejak beberapa jam
sebelumnya. Antara niat untuk pergi berbelanja dan tidak, lalu akhirnya ku
putuskan untuk pergi juga bersama seorang kawan. Hujan cukup deras menahan kami
untuk bergegas pulang. Sampai akhirnya menjelang adzan magrib kami baru
memutuskan untuk pulang, ditemani rintik hujan yang sudah mulai berkurang.
Ku masak bahan-bahan yang aku
beli tadi. Belum sampai matang semua bahan yang aku masak, bunyi ponsel terdengar
nyaring. Entah apa yang mendorongku untuk membawa ponsel ke dapur sore itu. Padahal
aku tidak biasa membawa ponsel ke dapur. Sejak pertama aku menginjakkan kaki di
kota ini sudah aku persiapan jika suatu saat harus mendapat telfon seperti ini.
Ya, sejak empat tahun yang lalu aku sudah sangat siap ketika harus mendapat
kabar yang memintaku untuk pulang secara mendadak.
Hujan masih turun setelah aku
menyelesaikan telfon yang aku terima. Segera aku selesaikan memasakku dan aku
meminta seorang kawan untuk melihat tiket kereta keberangkatan dua jam yang
akan datang. Beruntung kabar itu datang beberapa jam sebelum kereta berangkat.
Segera aku berkemas dan menuju kosan kawan untuk meminta diantar ke stasiun. Untuk
kesekian kalinya awal dari perjalananku ditemani hujan.
Stasiun tidak terlalu ramai
malam itu, terpujilah sistem pemesanan tiket yang dilakukan sejak jauh hari.
Sebab hal itu sangat-sangat memudahkan (kami) penumpang dadakan. Di ruang tunggu, aku mengirim
pesan pada seorang kawan lain yang belum sempat aku beritahu. Segala bersiapan
hati untuk menguatkan diri runtuh seketika saat itu. Bayangan akan keadaan yang
aku tuju sudah tidak karuan, segala kemungkinan ada dalam pikiranku.
Aku tidak ingat apakah saat itu
aku dapat tidur di kereta? Yang jelas pagi sekali aku sudah sampai di stasiun
tujuanku. Namun, aku tidak langsung diantar ke tujuan melainkan pulang ke rumah
terlebih dulu. Padahal aku seger a ingin tahu keadaannya.
Komentar