Sebulan di Rumah Sakit


Senyaman apapun tinggal di rumah sakit tentu tidaklah enak. Pengalaman tinggal satu bulan di rumah sakit membuatku sadar bahwa harga dari sebuah sehat itu sangat mahal. Tahun lalu aku semepat diopname selama empat hari karena demam berdarah. Empat hari dirawat sudah seperti waktu yang lama. Namun kali ini aku haru tinggal di rumah sakit ntah sampai kapan. Pukul dua belas malam lewat sekian menit aku kami akhirnya sampai di ruang rawat inap. Hari itu hari minggu,aku masih mengingatnya. Separah apapun pasien jika masih di IGD maka mereka harus menunggu selama kurang lebih dua jam.

Malam itu IGD sedang sepi hanya ada beberapa pasien. Aku yang tidak tahu rumah sakit ini merasa sedikit takut. Bangunan rawat inap dan ruangan IGD terpisah oleh lapangan titik kumpul. Dimana kedua ruangan itu dihubungkan oleh lorong panjang dan menanjak. Sebab ruang rawat inap terdiri dari dua lantai (sebenarnya ini masih dalam proses pembangunan lantai selanjutnya). Ya, malam itu ruang rawat inap berada di lantai dua bagian bedah saraf. Derit roda bangkar membangunkan penjaga pasien lain. Aku merasa sungkan dan tidak enak, tapi pada akhirnya aku menyadari seperti itulah kehidupan di rumah sakit.

Mereka datang dengan raut muka gelisah, capek, lelah, sebal karena pelayanan dan tentunya sedih. Seiring dengan perkembangn si pasien yang kunjung membaik, wajah-wajah penjaganya pun juga semakin sumringah. Terutama saat mereka telah mendapat kabar jika sudah bisa pulang. Akan tetapi jerit tangis dan kesedian akan semakin nyaring saat si pasien harus dibawa pulang dalam keadaan terselimuti kain jarit.

Ruang inap yang aku tuju malam ini hanya sejenak ditempati. Sebab di esokan harinya ruang inap berpindah di bangunan lain. Kamar inap ini cukup nyaman dan luas, namun jauh-jauh lebih sepi. Pendingin ruangan selalu menyala. Hanya di pagi hari aku matikan untuk mengganti sirkulasi udara. Sungguh nyaman tapi tak pernah nyaman. Itulah kehidupan di rumah sakit. Cukup satu minggu saja aku menikmati kamar inap mewah di rumah sakit ini. Sebab karena satu dan lain hal, pasien harus berpindah ke bagian bedah saraf lagi, dengan kamar yang berbeda dari sebelumnya.

Lorong yang selalu aku lewati saat menebus obat


Kamar inap yang ketiga ini adalah kamar inap terlama yang ditinggali. Satu kamar diisi oleh dua pasien. Dari kamar inap ini aku sering menemuka senja. Silih berganti pasien di bagian samping telah berganti. Rasa jenuh mulai datang. Bukan jenuh karena menunggu, tapi jenuh karena rutinitas hanya berulang itu-itu saja. Sampai akhirnya aku mendapat angin segar untuk keluar sore. Mungkin sore itu adalah pekan ke dua selama aku berada di rumah sakit. Akupun merasakan oksigen bebas, bukan bau rumah sakit.

Tak ada yang aku hapal dari bangunan rawat inap ini, sebab aku tak ingin kembali tinggal di sini. Biarlah rumah sakit itu menyimpan ceritaku sendiri. Hanya satu bagian ruang bedah saraf, ruang perawat, dan apotek itu ingatanku akan lantai dua ruang rawat inap. Jam besuk terkadang menguntung namun tidak jarang juga menyusahkan. Itulah aturan. Untuk kalian yang akan menjenguk pasien di rumah sakit selalu tanyakan jam besuk terlebih dulu.

Mungkin ceritaku ini akan berlanjut mungkin juga tidak. Terima kasih untuk kalian yang sudah meluangkan membaca 😀.
Pemandangan dari kursi tunggu di samping kamar perawatan


Senja di suatu sore dari jendela kaca bangunan rawat inap

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Formalis dan Substantif dalam Antropologi Ekonomi

Analisis Tema, Alur, dan Karakter Dalam Novel Perahu Kertas

Etika Makan Orang Jawa