Raspen



Sumber gambar

Sudah beberapa hari ini aku ingin menuliskan tentang rasa penasaranku. Mungkin akan lebih familiar jika aku menyebutnya dengan ‘kepo’. Entah istilah itu pertama kali ditemukan oleh siapa. Akronim itu banyak digunakan oleh orang-orang saat ini untuk merujuk kepada keingin tahuan akan personal seseorang. So, aku sebenarnya kurang suka menggunakan istilah ini, karena rasa penasaranku ini tidak hanya pada orang saja namun pada semua hal yang baru aku temui/tahu.

Balik ke raspen (boleh juga singkatannya, rasa penasaran). Berkenalan dengan beberapa orang baru terkadang membuat raspenku muncul. Bukan tentang orang itu secara personal tapi pada bidang yang dia geluti atau lingkungan seperti apa yang ada di sekitarnya. Dengan adanya pengetahuan atau informasi tentang hal-hal umum yang ada di sekitarnya ini, aku bisa memiliki bahan obran dengannya. Atau sekedar mengonfirmasikan ini-ini. Mencari bahan obrolan itu susah-susah gampang, terlebih jika baru saja kenal.

Raspen yang aku miliki tidak membuat menyesal telah menghabiskan waktu sekian jam untuk berselancar di dunia maya. Membuka satu tulisan ke tulisan lain, satu berita ke berita lain. Berinteraksi dengan orang baru (terkadang penulisnya), untuk menjawab rasa penasaran yang tidak ditemui jawabannya di tulisan-tulisan. Aku suka menemukan hal baru yang menambah pengetahuanku. Terkadang hal-hal seperti itu tidak akan ditemui di bangku pendidikan.

Raspen inilah yang mungkin juga tumbuh tanpa disadari dari lingkungan (akademis)ku. Kami diajari untuk tidak cepat kagum akan hal baru dan terus mencari tahu atau bahkan mempertanyakan hal baru ini. Rasa puas dan kagum seolah bukanlah akhir dari pencarian ini. Pencarian-pencarian tersebutlah yang nantinya juga membawa ke arah mana pikiranku.

Akan tetapi, raspen tersebut seringkali menguap dengan bebas tanpa dapat dipertahankan dengan seiring menghilangnya lawan obrolan. Aku sering menemukan satu titik di mana lawan obrolan itu akan pergi. Entah dia pergi dengan sendirinya atau dia pergi karena aku mengusirnya (hahaha terlihat kejam). Bukan satu atau dua kali, tapi beberapa kali. Terkadang aku juga merasa menyesal kenapa aku memiliki raspen yang tinggi. Apalah daya raspen jika tidak dicarikan jawaban akan ketidaktahuannya. Rasa puas yang sesat biarlah menjadi kebahagianku pada saat itu. Jika nanti pengetahuanku ini menjadi tidak berguna, maka biarlah. Jangan menyesal akan raspen, karena itu pernah memuaskan rasa dahaga ketidaktahuanmu.

Pergilah jika ingin pergi, mari mengobrol jika sekiranya itu yang terbaik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Formalis dan Substantif dalam Antropologi Ekonomi

Analisis Tema, Alur, dan Karakter Dalam Novel Perahu Kertas