Selamat Jalan
Hingar-bingar perayaan akhir tahun sepertinya telah usai. Sejak memasuki
bulan terakhir tahun 2017 aku memang tidak memiliki agenda yang pasti untuk
merayakan pergantian tahun dimana. Satu hak yang pasti aku hanya ingin
melewatinya di kota ini. Entah itu bersama teman atau pun seorang diri di
ruangan tiga kali tiga. Agenda yang tidak pasti tersebut membuatku santai saja
hingga menjelang penghujung hari-hari terakhir.
Sampai pada suatu sore di tanggal 30 Desember 2017 sebuah pesan singkat
muncul di salah satu grup obrolan di ponselku. Pesan tersebut datang di dua
grup obrolan pada aplikasi yang berbeda. Respon pertama aku berikan di grup
dengan anggota yang lebih kecil dahulu. Baru setelahnya aku melihat grup di
aplikasi yang lain. Seorang kawan di grup kecil sudah akan aku marahi, hingga
akhirnya aku membuka pesan di grup yang lainnya.
Inginku tidak mempercayai pesan tersebut, namun benar adanya. Beliau salah
seorang dosen di departemen tempatku menimba ilmu dipanggil oleh Tuhan. Tepat
saat dia berkumpul bersama keluarga (dari suaminya) untuk merayakan Natal dan
Tahun Baru. Aku memang tidak benar-benar dekat secara emosional dan personal
dengannya. Namun kedekatan kami terjadi karena beliau adalah pembimbing
akademikku. Rasa kehilangan akan seorang dosen dan pembimbing cukup aku
rasakan.
Beberapa semester yang lalu saat masih mengambil kelas beliau, kawan-kawan
ada yang mungkin bisa dikatakann sebal dan jengkel dengan berbagai
kebijakan/keputusan yang beliau berlakukan untuk kelancaran kelas. Secara mimik
wajah dan gestur tubuh beliau memang seringkali memberikan kesan kurang suka
pada lawan bicaranya. Pernah suatu kali pada kelas pagi (yang dimulai pukul
tujuh) dengan toleransi keterlambatan lima belas menit lalu setelahnya pintu
kelas ditutup dan diganjal pintu. Sehingga siapa pun yang telat tidak bisa
masuk. Banyak dari mahasiswa yang merasa sebal dan jengkel. Tapi aku juga
menyadari kalau itu adalah sebuah hal yang bisa dikatakan haknya untuk menolak
setelah terjadi perjanjian kontrak kelas.
Banyak hal baik dibalik kesan ‘sombong’ dan ‘angkuh’ yang tertangkap pada
pertemuan dengannya. Setiap kali aku menemui beliau untuk meminta persetujuan
rencana studi, beliau selalu mengingkatkan untuk menyelesaikan pendidikan ini
tepat waktu. Salah satu bentuk perhatian yang dia berikan adalah mengirimkan
pesan melalui sistem akademik kampus. Dan dengan bodohnya aku baru membuka
pesan tersebut enam bulan setelahnya. Ya, dua tahun terakhir beliau memang
sibuk karena jabatan yang harus diembannya. Hingga kami (aku dan seorang kawan)
harus kesusahan untuk menemuinya.
Sesunggunya tidak hanya kesan baik saja yang beliau tinggalkan. Ada beberapa
orang (yang mungkin sampai saat ini) masih memiliki bekas luka karena beliau.
Aku berharap dengan kembalinya beliau pada Tuhan, luka itu juga kunjung membaik
berganti dengan kenangan-kenangan indah bersama beliau.
Selamat jalan’mama’ Anna Marrie Wattie, Dr. M.A. semoga engkau tenang di
sisi Tuhan. Semoga ‘mama’ sudah tidak merasakan sakit lagi di sisi Tuhan.
Ketabahan, keikhlasan, ketegaran dan kekuatan untuk melewati ujian ini
sangat terlihat dari cara keluarga ‘mama’ menghadapinya. Jika suatu saat nanti
aku harus melewati fase kehidupan untuk ditinggal orang terdekat, maka aku
berharap Tuhan memberikan kekuatan seperti yang dimiliki oleh keluarga ‘mama’.
Selamat jalan ‘mama’ damai di sisiNya.
Komentar