Satu Hari Nanti (Film)



Gegara mati lampu dari jam setengah tujuh dan baru nyala sejam kemudian, lalu gak tau mau ngapain. Akhirnya diputuskan untuk menulis ini aja. Jadi, aku nonton film ini udah sebulan yang lalu (telat banget ya nulisnya, bodo amat). Aku nonton film ini awalnya penasaran kenapa genre yang diambil adalah D21+. Meskipun udah baca dibeberapa beritan dan interview sutradara sama Radit (Shooting Di Indonesia VS Luar Negeri), tapi tetep penasaran. Pertama kali baca ulasannya dari RappleID (Link), lalu nyari jadwal bioskopnya di Jogja yang ternyata cuma tayang di Jwalk, karena gak langsung nonton gara-gara males jauh. Akhirnya deh nontonya malah di Solo (tambah jauh ya wkwk), dari pada nyesel penasaran gak pernah nonton, itung-itung sambil jalan-jalan.

---

Aku baru sadar sama tulisan di bawahnya itu 'Cinta Itu Perjalanan'
 
Oke, jadi film ini judulnya ‘Satu Hari Nanti’ dengan lokasi Swiss. Udah banyak sih film dengan latar luar negeri, tapi ntah kenapa film ini rasanya beda aja. Film ini emang egak hanya membawakan cerita cinta seperti pada umumnya. Salah satu yang menjadi ketertarikkanku adalah tentang hidup bersama saat pacaran. Mungkin bagi kita yang tinggal di Indonesia ini sedikit tidak umum. Namun, beberapa hari yang lalu aku sempat menemukan sebuah vlog dari orang Indonesia yang tinggal di Eropa dan bertanya kepada beberapa pemuda di sana (Alasan Bule Tinggal Serumah Sebelum Menikah), mengapa mereka tinggal bersama pacar atau pasangan sebelum menikah? Salah satu jawaban yang menurutku ‘dapat diterima’ adalah karena mereka ingin lebih mengenal calon pasangan. Salah satunya dengan hidup bersama, meskipun nantinya mereka tidak akan menikah atau melanjutkan hubungan. Lalu batas seperti apa dalam hidup bersama yang meraka jalani, itu yang tidak dibahas.

Film Satu Hari Nanti menceritakan tentang kehidupan orang pasang kekasih. Dimana mereka hidup bersama di negeri orang dan harus saling menguatkan (atau membutuhkan untuk saling bertahan hidup). Di film ini tempat tinggal semuanya dimiliki oleh tokoh perempuan, Alya dan Chorina. Alya berpacaran dengan Bima, dia merupakan seorang musisi yang sedang merintis kariernya di Swiss. Bima menjadi penyanyi di kafe-kafe. Sedang Chorina atau Cho adalah seorang manajer hotel dan perbacaran dengan Din yang merupakan pemandu wisata. Sosok Cho digambarkan seolah lebih kaya dari pada karakter yang lainnya, dimana itu terlihat dari kemampuannya meminjamkan rumah kepada Bima saat dia bertengkar dengan Alya. Di film ini aku melihat karakter laki-laki seolah menjadi parasit pada perempuan terutama dalam hal tempat tinggal (padahal tau sendiri kan tinggal di luar negeri itu mahal).

Konflik dimulai saat Alya dan Bima akan merayakan hari jadian mereka. Namun, Bima malah memilih untuk manggung di sebuah kafe (atau event, aku lupa). Di situlah sosok Cho dan Din muncul. Cho berusaha menenangkan Bima dan membujuknya untuk berbaikan dengan Alya. Tetapi Bima seolah malah menemukan sosok yang baru pada Cho, sampai akhirnya mereka berciuman di jembatan. Sedangkan si Din berusaha menenangkan Alya, namun malah Din merayu Alya sampai akhirnya mereka tidur bersama.

Setelah kejadian Alya dan Bima banyak berbeda pendapat, begitupun Din dan Cho. Perkembangan perselingkuhan ini lebih terasa pada Cho dan Bima, seolah mereka bisa saling memahami dan mengerti satu dengan yang lainnya. Sedangkan Din dan Alya, tidak begitu terlihat. Karena Alya sadar jika hubungan itu tidak benar dan tidak bisa diteruskan. Akan tetapi Din tetap memberikan perhatian dan membantu Alya dalam menyelesaikan tugas kampusnya. Sampai akhirnya Alya tetap menganggap Din hanya teman dan tidak berharap lebih.

Lalu apakah pasangan mereka tahu kalau mereka berselingkuh? Ya, jawabannya. Din lebih dulu tahu jika Cho selingkuh dengan Bima. Begitupun dengan Alya yang lebih dulu memergoki Bima. Jika aku tidak salah ingat, Din juga mengaku kepada Cho kalau dia berselingkuh.

Cerita berjalan cukup lambat dan sedikit membosankan ditengah-tengah. Namun rasa penasaran tidak terkalahkan. Durasi dari film ini dapat dibilang tidak pendek dua jam dua menit, uwoo. Durasi yang panjang untuk sebuah film drama. Selain konflik dalam percintaan film ini juga mengangkat konflik personal. Aku lebih merasakan konflik yang dialami oleh Alya. Dia di Swiss untuk sekolah cokelat dan nantinya akan meneruskan bisnis keluarga. Akan tetapi sebenarnya dia ingin bersekolah sebagai juru masak atau koki. Sampai akhirnya ayahnya datang ke Swiss untuk urusan bisnis dan di situlah dia mengatakan niatnya untuk lebih mendalami kuliner sambil berpetualang. Sedangkan Bima akhirnya pulang ke Jakarta untuk melanjutkan bermusik. Lalu kemana Cho dan Din? Aku lupa wkwk. Meskipun mereka saling selingkuh, tapi Alya dan Cho tetap berteman (sorry spoiler).

Aku suka film ini karena cerita yang diangkat bukan cerita cinta pada umumnya atau remaja. Tetapi lebih pada konflik cinta dua orang yang usianya sudah cukup matang. Selain itu mereka juga sudah mampu untuk mengambil resiko jika mengambil ini akan seperti apa. Lalu apakah tinggal bersama sebelum menikah menjadi benar atau salah itu sangat tergantung cara kita melihatnya dan di budaya apa kita berada.

 

Pemain 
  • Adinia Wirasti sebagai Alya
  • Deva Mahenra sebagai Bima
  • Ayushita Nugraha sebagai Chorin atau Cho
  • Ringgo Agus Rahman sebagai Din
Sutradara dan Penulis Naskah : Salman Arsito
Produser : Dienan Silmy
Genre : Drama
Durasi : 122 Menit
Produksi : Evergreen Pictures dan Rumah Film


Beberapa tulisan tentang film ini

  1. Sekilas Tentang Film Satu Hari Nanti, Kisah Cinta yang Rumit di Swiss.
  2. 'Satu Hari Nanti': Mencari jawaban dengan jujur pada diri sendiri
  3. Satu Hari Nanti: Bukan Semata Film Beradegan Tabu
  4. Satu Hari Nanti

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Formalis dan Substantif dalam Antropologi Ekonomi

Analisis Tema, Alur, dan Karakter Dalam Novel Perahu Kertas

Etika Makan Orang Jawa