Budaya yang Begitu Luas
Oleh : Immas Putri
A. Pengantar
Tulisan-tulisan yang ada di sini merupakan tulisan dari Prof. Heddy Sri Ahimsa-Putra yang selanjutnya akan saya tuliskan dengan Ahimsa-Putra yang telah dipublikasikan melalui jurnal, buku, maupun pada seminar. Tulisan-tulisan ini ada yang didasari dengan penelitian maupun studi pustaka. Tema-tema yang diangkat dalam tulisan-tulisan ini sangat beragama. Dari yang dekat dengan budaya hingga masalah yang berkaitan dengan lingkungan. Terdapat juga tulisan dari beberapa peneliti yang diberikan pembukaan oleh Ahimsa-Putra. Dalam buku ini terdapat delapan artikel yang memiliki beberapa tema besar yang sama.
B. Bahasa
Pada bagian ini terdapat dua tulisan Ahimsa-Putra (2011a) mengenai bahasa. Bagian pertama Ahimsa-Putra menganalisis mengenai budaya dengan menggunakan pendekatan struktural. Ahimsa-Putra mencoba melihat kebudayaan dengan dari segi bahasa atau linguistik. Seperti yang Ahimsa-Putra tuliskan bahwa kebudayaan itu seperti bahasa contohnya ketika seorang antropolog menuliskan etnografi maka dia dapat menuliskannya secara deskriptif. Dimana seorang antropolog dapat menuliskan suatu kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat dengan menggunakan simbol kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu. Hal itu bertujuan agar masyarakat pemilik kebudayaan dan masyarakat yang berada di luar kebudayan dapat memahami. Akan tetapi penggunaan istilah-istilah universal dalam antropologi juga masih diperlukan. Sehingga ahli antropologi yang lain dapat memahami dan bisa memanfaatkannya.
Analisis dan deskripsi dengan model linguistik juga telah banyak digunakan oleh para ahli antropolog di Amerika dalam penulisan etnografi. Selain itu antropolog ternama Lévi-Strauss juga menggunakan model ini dalam penulisan etnografinya. Perbedaan antara ahli Amerika dengan Lévi-Strauss terdapat pada aliran linguistik yang mereka gunakan sebagai acuan dan cara mereka menggunakannya dalam penulisan etnografi.
Pada tulisan yang berikutnya Ahimsa-Putra (2013) menuliskan tentang bahasa dan budaya sebagai karakter manusia. Pada bagian pertama dijelaskan mengenai budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Budaya tersebut selalu mengalami perubahan baik pertambahan ataupun pengurangan. Hal itu tentu disepakati bersama oleh masyarakat sehingga budaya itu tetap ada ditengah-tengah masyarakat. Salah satunya bahasa yang memberikan pengaruh cukup kuat kepada masyarakat.
“..., memberikan pengaruh penting dalam proses pembentukan karakter manusia, karena bahasa ibu inilah yang paling awal dikenal, diketahui, oleh seorang individu. Bahasa ibu inilah yang kemudian sangat mempengaruhi proses-proses memahami dan menjelaskan pada diri seorang individu.” (Ahimsa-Putra 2013: xv)
Pengenalan bahasa ini sudah dimulai sejak masa kanak-kanak hingga dewasa. Baik secara formal dan sistematis yang biasa disebut dengan pembelajaran bahasa. Proses ini sangat penting karena menjadi salah satu proses pembentukan karakter pada seorang individu. Proses pembelajaran ini pun semakin berkembang dengan seiringnya zaman. Ketika proses tersebut menghasilkan suatu karakter yang dinilai positif maka keberadaan dan kelangsungan budaya itu harus diperhatikan untuk dapat dikembangkan lagi.
C. Sumberdaya Budaya
Sumberdaya budaya merupakan perangkat simbol yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk menyelesaikan masalahnya guna mencapai tujuan yang diinginkan. (Ahimsa-Putra 2011b: xii). Tulisan ini mengenai serdaya di Kalimantan seperti yang Ahimsa-Putra tuliskan. Tulisan ini diawali dari penelitian yang dilakukan Bambang Subiyakto pada kondisi saluran air yang ada di Banjarmasin. Subiyakto meneliti dengan menggunakan pendekatan sejarah dan membagi masa kegunaan saluran air menjadi masa sebelum penjajahan, masa penjajahan, dan masa sesudahnya. Saluran air itu oleh orang Banjar dibagi berdasarkan ukuran dan fungsinya. Namun, saat ini aliran sungai itu sudah banyak yang ditimbun dan digunakan untuk pemukiman. Berkurangnya saluran air yang ada di kota Banjarmasin membuat jukung atau perahu juga mengalami penurunan operasional. Masyarakat mulai beralih pada transportasi yang lebih cepat dan murah terutama di daratan. Acmad Mawardi menuliskan tentang berbagai jukung yang pernah ada di masyarakat Banjar. Selain saluran air dan jukung yang berkurang keberadaan rumah panggung juga semakin sedikit. Pembahasan ini dituliskan oleh Sunarningsih tentang peralihan rumah yang ada di masyarakat Banjar dari rumah panggung menjadi rumah tembok di atas lahan yang dulunya merupakan rawa-rawa.
Selain itu Arifin Anis melakukan penelitian tentang perubahan pakaian wanita Banjar. Anis membandingkan pakaian wanita masa kini dengan masa lampau menggunakan hikayat-hikayat lama sebagai data untuk masa lampau. Annis membaginya menjadi masa kerajaan yang gaya berpakaiannya mirip dengan orang Jawa. Kemudian Islam masuk pada masyarakat Banjar dan gaya berpakaiannya mengikuti orang Melayu. Tahap selanjutnya yaitu pada abad 20, pada tahap ini wanita Banjar telah menggunakan jilbab gaul menurut Anis. Pembahasan selanjutnya mengenai kayu ukir atau balontang. Keberadaan balontang ini sendiri kian sedikit. Masyarakat Dayak Benuaq dan Tunjung memiliki pandangan yang berbeda terkait dengan balontang, hal itu menurut Hartati karena perubahan sosial-budaya yang terjadi pada masyarakat itu.
Tiga artikel selanjutnya mengenai keadaan gua-gua di Kalimantan yang dituliskan oleh Bambang Sugiyanto, penambangan minyak yang terancam terbengkalai oleh Nur Susanto, dan Andi Nuralang yang menuliskan mengenai keterancaman serdaya di darat dan perairan Kalimantan.
Pada bagian terakhir Wasita menuliskan tentang hasil penelitian mengenai aspirasi masyarakat Kalimantan terhadap serdaya yang mereka miliki. Gunadi Kasnowihardjo memberikan beberapa pandangan mengenai cara-cara untuk meningkatkan apresiasi masyarakat. Sedangkan Heddy Sri Ahimsa-Putra menuliskan strategi peningkatan itu secara teoritis.
Gendhon Humardani Sang Inovator merupakan tulisan Ahimsa-Putra (2003) yang didedikasikan dalam peringatan 20 tahun kepergian Gendhon. Ahimsa-Putra menuliskan ini dengan menggunakan studi pustaka, karena Ahimsa-Putra belum pernah mengenal sosok Gendhon secara langsung. Ide Gendhon dalam menciptakan seni menurut saya juga merupakan salah satu sumberdaya budaya. Ahimsa-Putra menuliskan bagaimana perjuangan Gendhon sejak masa remaja hingga bersekolah di kedokteran lalu dia kembali menekuni tari yang sempat ditinggalkan. Menurut Gendhon perkembangan seni terutama tari -bidang yang digeluti Gendhon- memerlukan adanya sebuah kritik. Dengan kritik tersebut seniman dapat melihat dimana letak kelebihan dan kekurangan dari seni yang ia tampilkan. Selain itu Gendhon juga berpendapat bahwa tari merupakan media komunikasi atau yang bisa disebut bahasa. Bahasa sendiri memiliki aspek bentuk dan isi. Isi adalah sesuatu yang ingin disampaikan, dikomunikasikan melalui bentuk yang memiliki dua aspek yaitu rasa dan maksud. Rasa adalah apa yang terdapat dalam hati seniman, dan maksud adalah apa yang terdapat dalam pikirannya.
Gendhon mampu melakukan pembaharuan dalam seni tari Jawa. Dia menganalisis tari menjadi elemen-elemen kemudian membaginya menjadi elemen penting dan kurang penting. Elemen penting tersebut harus dipertahankan sedangkan elemen kurang penting dapat dihapus tanpa mengganggu maksud yang akan disampaikan.
D. Masyarakat dan Budaya
Patron-klien merupakan hubungan sosial yang memiliki ciri tertentu dimana hubungan ini tidak dapat berkembang secara bebas. Hubungan sosial ini hanya akan tumbuh jika terdapat keuntungan didalamnya. Ahimsa-Putra (1996) melakukan penelitian tentang patron-klien di pedesaan Sulawesi Selatan. patron-klien menjadi kunci hubungan sosial di masyarakat Bugis-Makassar. Ahimsa-Putra meminjam definisi dari James C.Scott untuk mendefinisikan patron-klien ini. Patron-klien terjadi karena adanya orang yang membutuhkan perlindungan. Lalu orang itu meminta perlindungan kepada seseorang yang lebih berkuasa. Orang yang berkuasa ini disebut Patron dan dia akan memberikan perlindungan. Perlindungan inilah yang kemudian harus dibalas oleh klien. Hubungan patron-klien ini sangat dekat karena si klien juga tinggal di tanah pekarangan patron.
To-manurung sebuah mitos tentang politik yang sangat terkenal di Sulawesi Selatan. Mitos To-manurung dari Bantaeng dapat digolongkan sebagai mitos yang terpanjang dan terlengkap. Mitos ini berawal sebelum masyarakat Sulawesi Selatan mengenal agama Islam, ada seorang pria yang turun dari langit lalu disebut To-manurung. To-manurung kemudian mengembara dan tempat yang ia lewati berubah menjadi daratan yang sebelumnya laut. To-manurung lalu membangun sebuah rumah besar yang ia tempati bersama pengikutnya. To-manurung dijadikan seorang pemimpin yang mana setiap hari ia menerima laporan dari 12 orang. Lalu To-manurung memilih satu wakil dirinya untuk menerima laporan itu. Itulah sedikit cerita tentang To-manurung. Terdapat beberapa nilai budaya dari mitos itu. Selain itu juga terdapat pandangan masyarakat lokal pada politik berdasar mitos itu.
Setiap kebudayaan pasti memiliki nilai yang baik dan buruk, begitu juga dengan masyarakat Jawa. Sejak kecil anak sudah diajarkan tentang nilai-nilai baik dan dilarang untuk melakukan hal-hal buruk. Ahimsa-Putra (2012) mencoba melihat nilai ‘baik’ dan ‘buruk’ yang ada di Jawa menggunakan cara pandang antropologi. Ahimsa-Putra menuliskan lima sifat yang menurut orang Jawa baik dalam kepribadian, lima sifat yang baik dalam pergaulan. Tiga sifat jelek terkait kepribadian dan dua sifat jelek dalam pergaulan. Setelah ada sifat baik dan buruk orang Jawa juga memiliki sifat yang ideal atau yang diharapkan seperti yang ada dijelaskan Ahimsa-Putra secara lebih rinci.
E. Masyarakat dan Sungai
Artikel terakhir ini berkaitan dengan kehidupan masyarakat di tepi sungai Ciliwung (1997). Kampung Melayu merupakan salah satu kampung yang padat dan merupakan pemukiman kelas bawah. Sebagai kampong yang memiliki jumlah penduduk yang tidak sedikit Kampung Melayu membutuhkan fasilitas MCK yang cukup. Kurangnya fasilitas tersebut membuat warga memanfaatkan air yang ada di sungai Ciliwung tidaknya untuk keperluan MCK tetapi juga kebutuhan yang lain. Warga dan pemerintah memiliki pandangan yang berbeda terkait sungai Ciliwung terutama pada kualitas air yang ada di sungai Ciliwung.
F. Penutup
Budaya tidak hanya mengenai seni, tetapi juga hal-hal lain yang terdapat di sekitar kita. Seperti politik, ekonomi, serta gagasan-gagasan dari hasil pemikiran. Budaya ada yang dapat secara langsung kita lihat dan ada pula yang perlu “dipelajari. Budaya akan terus berkembang dengan seiring perkembangan zaman.
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, H.S. 1996. “Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan”. Jurnal Prisma. XXV(6), 29-45.
_______________. 1997. “Sungai dan Air Ciliwung: Sebuah Kajian Etnoekologi”. Jurnal Prisma. XXVI (1), 51-72.
_______________. 2003. “Gendhon Humardani Sang Inovator” dalam Seni Dalam Berbagai Wacana: Mengenang 20 Tahun Kepergian Gendhon Humardani. Program Pendidikan Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni (STSI) Surakarta.
_______________. 2011a. “Bahasa Sebagai Model Studi Kebudayaan di Indonesia (Antropologi Struktural di Indonesia)“. Jurnal Masyarakat Indonesia. XXXVII (1), 1-32.
_______________. 2011b. “Sumber Daya Budaya di Kalimantan: Dari Kondisi Ke Apresiasi” dalam Arkeologi dan Sumberdaya Budaya di Kalimantan: Masalah dan Apresiasi. Banjarbaru: IAAI Komda Kalimantan.
_______________. 2012. “’Baik’ dan ‘Buruk’ dalam Budaya Jawa: Sketsa Tafsir Nilai-nilai Budaya Jawa. Jurnal Patrawidya. 13(3), 383-410.
_______________. 2013. “Wacana Pembukaan: Bahasa, Budaya dan Karakter Manusia” dalam Bahasa, Budaya dan Karakter Manusia. Manado: Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan dan Gama Media Yogyakarta.
_______________. 2014. “Demokrasi To-Manurung: Falsafah Politik dari Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Komentar