Review Exclusion, Marginality, and the Nation
Oleh : Immas Putri
Penulis artikel Jacques Bertrand
Indonesia adalah negara kepulauan, dengan beraneka
ragam suku bangsa yang ada. Keaneka ragamnya suku bangsa yang ada selain
memperkaya budaya Indonesia juga tidak jarang dapat menyebabkan konflik.
Konflik seperti bukanlah hal yang baru bagi kita yang tinggal dengan berbagai
keberagaman. Konflik biasanya terjadi bukan karena hal yang besar. Sudah banyak
konflik yang terjadi di Indonesia. Kecemburuan karena status-ekonomi biasanya
menjadi masalah yang sering menyebabkan konflik.Seperti yang ditulis oleh
Bertrand dalam buku Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, ia menuliskan tentang beberapa
konflik yang pernah terjadi di Indonesia. Namun, disini saya akan membahas
tentang bab 4 dari buku itu yaitu mengenai Exclusion, marginality,
and the nation.
Seperti yang ditulis pada bagian ini mengenai pengecualian (exclusion)
dan terpinggir (marginality) pada suatu suku bangsa dapat menimbulkan konflik.
Suku Dayak merupakan salah satu suku besar yang ada di Indonesia. Suku Dayak
tinggal di Pulau Kalimantan. Masyarakat Dayak merasa terpinggirkan semenjak
adanya tranmigrasi yang dirancang oleh pemerintah. Suku Madura menjadi salah
satu suku yang banyak melakukan transmigrasi ke Pulau Kalimantan. Baik dengan
program pemerintah ataupun secara mandiri. Banyak dari orang-orang Madura itu
yang berhasil. Banyak dari orang Madura yang tinggal di Kalimantan Barat.
Karena keberhasilan dari orang Madura itu, sehingga mereka dapat menguasai
sektor-sektor perdagangan, sedangkan masyarakat Dayak sendiri hanya menjadi pekerja
kasar(tukang becak, kuli, buruh, dan pedagang kecil). Itu merupakan salah satu penyebab konflik yang ada di Kalimantan.
Pada tahun 1966 salah satu konflik terbesar yang pernah terjadi antara
Suku Dayak dan Madura di Kalimantan Barat dipicu oleh pelecehan pada gadis
Dayak. Setelah pelecehan itu orang Dayak membalasnya dengan pemukulan pada
orang Madura. Beberapa hari kemudian orang Madura menusuk dua pemuda Dayak
sebagai pembalasan. Dari kejadian tersebut maka pecahlah konflik antara Suku
Dayak dan Madura. Konflik ini terjadi pada dua gelombang. Pada gelombang kedua
pertikaian terjadi selama dua minggu berturut-turut, sehingga beberapa orang Madura
harus mengungsi. Pada tahun 1999 dan 2001 terjadi kembali konflik antara Suku
Dayak dan Madura. Menurut Bertrand konflik ini terjadi sebagai akibat dari
runtuhnya era Orde Baru yang mana menyebabkan ketidak pastian politik hampir
diseluruh bagian negara Indonesia (Bertrand 2004:56).
Kurangnya kesempatan bagi orang Dayak untuk dapat menduduki posisi
pemerintahan juga membuat Suku itu merasa terpinggirkan. Suku Dayak baru dapat merasakan
posisi pemerintahan pada akhir masa penjajahan Belanda. Setelah itu Indonesia
memerdekakan diri dan Kalimantan dipimpin oleh seorang Gubernur dari Suku
Dayak. Ketika Orde Lama jatuh dan diganti dengan Orde Baru sejak saat itu
kesempatan bagi orang Dayak untuk dapat menduduki pemerintahan kembali kecil.
Karena kepala daerah ditunjuk langsung oleh presiden. Baru setelah reformasi
dan dilakukan pemilihan secara langsung untuk kepala daerah, kesempatan bagi
orang Dayak kembali terbuka.
Sedikit berbeda dengan orang Dayak yang merupakan penduduk asli
Indonesia, orang-orang Cina di Indonesia merupakan transmigran dari daratan
Cina yang sudah terjadi sejak lama. Ketika penjajahan Belanda orang-orang Cina
tersebut mendapat status yang lebih tinggi dari pribumi namun, lebih rendah
dari orang Eropa. Itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya
rasa iri dari pribumi. Orang-orang Cina juga menguasai sektor-sektor
perdagangan. Sedangkan pribumi hanya menjadi buruh mereka. Pasca kemerdekaan 1945 masyarakat Cina
berusaha untuk mendapatkan kewarganegaraan yang sama seperti pribumi.
Pada masa pemerintahan Soerkarno orang-orang Cina memang mendapatkan
kewarganegaraan tetapi dengan beberapa syarat. Pada masa itu pula kebebasan
orang pada orang Cina hampir sama seperti orang-orang pribumi lainnya. Namun,
pada masa Orde Baru kebebasan mereka untuk dapat melakukan ibadah dan perayaan
di tempat umum dibatasi. Sekolah-sekolah asingjuga dilarang, namun setelah itu
pemerintah mengizinkan pembentukan sekolah swasta dan bahasa Cina boleh
digunakan sebagai bahasa pengantar pada sekolah itu. Pada saat isu komunis
terjadi di Indonesia juga banyak orang-orang Cina yang pergi meninggalkan
Indonesia untuk menyelamatkan diri. Ketika kerusuhan Mei 1998 orang-orang Cina
juga menjadi korban penjarahan masa. Banyak dari mereka yang barang-barang
ditokonya diambil oleh warga untuk disimpan jika sewaktu-waktu krisis terjadi.
Setelah reformasi dan pemerintahan dipimpin oleh Habibie, beliau
mengeluarkan Instruksi Presiden mengenai penghapusan diskriminasi antara pribumi dan
non-pribumi. Pada pemerintahan selanjutnya mengizinkan orang-orang Cina untuk
melakukan perayaan dan tradisi Cina di Indonesia. Satu tahun kemudian Hari Raya
Imlek dijadikan sebagai hari libur nasional oleh Presiden Megawati. Sejak
reformasi berlangsung, orang-orang Cina semakin banyak yang memasuki dunia
politik. Mereka diberi kesempatan yang sama seperti warga negara yang lainnya.
Komentar