Bayangan dan Realita Anak Rantau
Oleh : Immas Putri A
Menjadi seorang perantau
diusia remaja memang memiliki cerita sendiri. Antara sedih, senang, mandiri dan
lainnya. Tinggal di lingkungan yang baru tanpa ada orang yang dikenal
sebelumnya memang sudah menjadi sebuah permasalahan sejak awal. Namun, selalu
ada dorongan untuk tetap melanjutkannya. Mungkin ini keliatan simpel, tapi
banyak hal berbeda yang harus kita hadapi.
Yogya yang
dikenal sebagai kota pelajar menjadi impian banyak anak untuk dapat melanjutkan
pendidikannya di kota ini, begitupun denganku. Saat SMA keinginan terbesarku
adalah dapat melanjutkan pendidikan di kota ini, baik di perguruan tinggi murni
ataupun kependidikan (guru). Dan kabar baik itu datang setelah pengumuman
seleksi nasional untuk perguruan tinggi. Bayangan Kota Yogya yang kental akan
budaya, kota yang dingin, dan kota yang damai mungkin itu hanya sekian dari
banyak bayangan yang aku miliki pada saat itu.
Setelah semua
persiapan pra masuk perguruan tinggi selesai hingga pada bulan Agsutus 2014
dimulailah rangkaian penyambutan mahasiswa baru. Sejak saat itupula kehidupan
menjadi anak rantau dimulai. Aku memilih untuk tinggal di sebuah indekos di
kampung Kuningan yang tepat berada di sebelah timur kampus. Indekos ini aku
cari sejak registrasi ulang beberapa bulan sebelumnya sehingga saat aku ke
Yogya lagi sudah ada tempat yang akan aku jadikan sebagai tempat tinggal secara
langsung.
Pada saat
pertama kali aku datang di indekosku aku belum mendapatkan kamar yang akan aku
tinggali secara pasti sehingga aku harus dua kali pindah kamar untuk
mendapatkan kamar yang aku tinggali saat ini. Ternyata untuk dapat memilih
sebuah ruangan yang nyaman untuk ditinggali itu tidaklah mudah. Mendapat janji
inilah itulah dari pemilik kos, pernah tinggal di ruangan yang berukuran 3x1,5
M akhirnya setelah menunggu sekitar satu bulan aku mendapat kamar yang luasnya
sesuai harapanku sekitar 3x2,7 M. Namun, masalah lain juga muncul, kamar ini
tidak ada jendelanya maka siang dan malam perbedaannya tidak banyak karena
tidak adanya ruang untuk matahari masuk. Jadi, saat musim kemarau tahun lalu kamarku
bisa terasa panas dan sangat pengap. Apalagi saat itu aku belum memiliki kipas
angin.
Untunglah pada
awal tahun ini pemilik kos memberi tahu kalau kamar yang aku tempati ini akan
dipasang jendela di sisi barat. Sebuah kabar yang begitu membahagiakan, padahal
itu hanya sebuah jendela. Ya, dengan adanya jendela itu sirkulasi udaranya pun
semakin baik, sinar matahari dapat masuk ke kamarku meskipun itu sinar matahari
sore. Dengan adanya jendela itu aku sekarang bisa melihat ke Jalan Notonagoro.
Setiap hari minggu pagi aku dapat melihat lapak-lapak jualan di Sunmor ya, meskipun itu hanya sisi
belakangnya. Terkadang aku juga dapat melihat betapa banyaknya pengunjung Sunmor dari celah-celah tempat jualan
itu.
Selain itu
saat bulan Ramadhan kemarin aku juga dapat melihat lapak-lapak penjual makanan
sore. Kalau lapak yang ini keliahatan lebih jelas karena mereka tidak
menggunakan atap saat berjualan. Sisi jalan sebelah timur yang digunakan untuk
berjualan tidak jarang juga menyebabkan kemacetan. Pasar sore itu biasanya
selesai saat magrib dan para penjual baru selesai membersihkan lapaknya
menjelang sholat terawih.
Dari jendela
kamar kalau beruntung aku bisa melihat matahari tenggelam tapi pemandangan di
depan (sekitar masjid kampus UGM) yang banyak pohon-pohon menghalangi
pemandangan matahari yang tenggelam secara perlahan, kadang aku hanya dapat
melihat tenggelamnya matahari tidak sampai selesai. Semburat kuning
kemerah-merahan yang dipadu dengan hiaju-hitam pepohonan yang terkena bayangan
matahari sore.
***
Menjadi
minoritas memang bukanlah hal yang mudah, mungkin seperti itulah kondisiku saat
tahun pertama berada di kos. Hanya ada empat orang mahasiswa baru dari total
sekitar dua puluh orang yang tinggal di kos ini. Rata-rata dari mereka adalah
mahasiswa tingkat dua keatas dan tiga orang yang sedang mengambil S2. Perbedaan
kesibukan antara mahasiswa tingkat satu dan tingkat dua mungkin yang menjadi
salah satu penyebab mengapa kami (mahasiswa baru) dengan kakak kos kurang bisa
akrab.
Aku pun hanya
dekat dengan salah satu dari mahasiswa baru itu. Jumlah kamar yang banyak dan
pintu yang selalu tertutup membuat kami kurang dapat berinteraksi secara sering.
Kadang kakak-kakak kos baru pulang lewat dari pukul sembilan malam, kebetulan
indekosku tidak terdapat jam malam. Sehingga mereka yang memiliki banyak
kegiatan di luar tidak khawatir jika terkunci pintunya saat pulang.
Memang pada
akhirnya aku dapat mengetahui nama-nama kakak kos yang ada di sini, akan tetapi
hingga mereka pindah kos pada akhir tahun kemarin masih ada beberapa orang yang
tidak aku tahu namanya. Kendala lain yang aku temui yaitu tidak adanya ruang
bersama yang ada di kos ini. Seperti ruang tamu atau ruang untuk menonton TV
bersama yang bisa menjadikan kita untuk sesekali berkumpul bersama. Memang
katanya dulu ada ruang TV, namun beberapa saat sebelum aku masuk ke kos ini
ruangan tersebut diubah menjadi kamar kos. Sedangkan untuk ruang TV nya sendiri
baru ada lagi setelah semester genap tahun lalu atau kapan aku kurang yakin.
Sebab ruang TV itu berada di lantai dua sedangkan sebagian besar kamarnya
berada di lantai satu. Oleh karena itu, banyak dari kami yang tidak mengetahui
adanya TV tersebut. Selain itu letaknya yang di lantai dua juga membuat kita
malas untuk menggunakannya jika kita sendiri merasa tidak terlalu
memerlukannya.
Terkadang aku
juga merasa iri pada teman-teman yang memiliki hubungan akrab dengan teman
indekosnya. Hal itu kadang menjadi mimpi tersendiri untukku agar bisa tinggal
di sebuah indekos yang lebih akrab orang-orangnya. Seperti indekos temen yang
hanya berbeda kampung denganku. Jumlah kamar yang ada kurang lebih sama. Di
indekos itu temanku sudah dapat mengenal para tetangga kamar semenjak awal-awal
dia tinggal. Itu berbeda dengan yang aku alami. Aku baru dapat mengenal mereka
setelah beberapa bulan kemudian. Selain itu aku lebih cepat mengenali mereka
yang sering ketemu denganku saat berada di dapur. Mungkin itu satu-satu ruang
yang bisa membuatku mengenal kakak kos di tempat ini, karena dapur itu jadi
satu dengan tempat mencuci.
Saat melihat
teman-teman lain yang bercerita mengenai kakak kos kdang membuatku untuk bisa
lebih akrab lagi dengan calon penghuni baru di kosanku nantinya. Ya, memang
taun ini hal itu mungkin sudah mulai dapat aku lakukan. Semenjak awal tahun
pembelajaran ini penghuni kos lebih banyak mahasiswa baru. Ditambah lagi mereka
merupakan anak-anak yang berada di satu fakultas yang sama. Sehingga kejadian
seperti tahunku mungkin tidak begitu terjadi. Setahu aku mereka saling mengenal
satu sama lain dan merasa sama-sama memiliki topik pembahasan yang sama
sehingga mereka lebih cepat akrab. Meskipun hubungan dengan kakak kos yang lain
mungkin masih ada yang seperti aku dulu. Akan tetapi setidaknya mereka telah
saling akrab pada teman seangkatan.
Saat ini telah
banyak anak-anak kos yang memanfaatkan media sosial untuk kemudahan komunikasi
mereka. Namun, di tempat kosku belum ada yang memanfaatkan hal itu. Contohnya
adalah adanya grup-grup kos di media sosial. Kegunaan dari grup tersebut adalah
untuk menjalin komunikasi antar penghuninya. Selian itu melalui grup tersebut
kita dapat memberikan informasi ataupun pengumuman mengenai indekos. Hal
sederhana yang mungkin dapat dilakukan seperti bertanya mengenai kebersihan
indekos atau gosip-gosip yang ada di sekitar tempat kos. Dari situlah mungkin
keabraban dapat terjalin.
Hal konyol
lain yang pernah aku alami adalah saat ada tukang galon, pengantar pakek,
ataupun pengantar makanan yang datang ke kos dan bertanya mengenai salah satu
nama anak kos di sini dan aku tidak tau siapa itu, kadang hal itu membuatku
malu sendiri. Mungkin orang luar akan
mengaggapku terlalu tidak peduli dengan lingkungan tempat tinggalku atau
bagaimana. Akan tetapi aku sendiri sudah berusaha untuk mengenal mereka. Salah
satu kelemahan yang aku miliki juga adalah sulitnya menghafal nama dan wajah
seseorang jika aku tidak sering bertemu dengannya.
***
Bayangan Yogya
sebagai kota yang damai dan dingin mulai memudar dengan dengan siring
berjalannya waktu. Setelah satu tahun lebih tinggal di sini dan mengalami
banyak hal pandanganku mengenai Kota Yogya kian berubah. Yogya kini mulai
merubah dirinya sedikit demi sedikit. Salah satu teman yang pernah aku ajak
diskusi mengenai pandanganku tentang Yogya mengatakan, iya mungkin itu memang
tidak salah jika mereka hanya datang ke Yogya sehari dua hari untuk berwisata.
Mereka belum dapat merasakan apa yang sebenarnya ada di Yogya. Kata dia lagi
jika kita ingin tahu mengenai Yogya setidaknya tinggallah di sini selama
beberapa bulan.
Aku juga
teringat dengan pengungkapan beberapa teman saat PPSMB dulu. Umumnya mereka
yang dari luar kota mengatakan hal yang sama sepertiku ditambah dengan harga
makanan yang relatif murah. Dengan harga sekian kita sudah dapat menikmati nasi
dan lauk ayam. Hal itu seolah menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang
ingin melajutkan pendidikan ataupun tinggal di Yogya. Seiring dengan
berjalannya waktu akupun mulai mengenal tempat-tempat makan yang bisa dikatakan
mahal untuk harga mahasiswa dan mana yang terjangkau untuk mahasiswa.
Pada awal-awal
aku tinggal di sini banyak sekali isu-isu mengenai pembacokan, penjambretan dan
pembunuhan di jalan. Yang membuatku sedikit bingung dan penasaran hingga saat
ini adalah kenapa isu itu muncul di saat mahasiswa baru masuk ke Yogya? Apakah
isu-isu itu hanya menyebar di kalangan mahasiswa baru saja atau juga di
masyarakat Yogya secara luas? Lebih-lebih aku tidak melihat kegelisahan
diantara warga masyarakat yang sudah lama tinggal di sini, terutama sekitar
indekos ku. Memang pada akhirnya isu itu hilang secara sendiri. Akupun juga
tidak tahu mengenai kebenaran dari isu-isu tersebut hingga saat ini.
Memang
beberapa saat yang lalu ada kasus pembacokan menggunakan cangkul di sekitar
Timohon, namun kejadian itu terjadi sangat lama setelah isu-isu itu hilang.
Ataukah isu-isu itu muncul secara musiman? Entahlah hingga saat ini aku belum
begitu yakin mengenai isu tersebut. Meskipun seringkali aku mendengar konvoi
sepeda motor di malam hari. Entah itu konvoi apa, akan tetapi aku sendiri juga
merasa takut jika mendengarnya. Terlebih jika itu terjadi setelah tengah malam.
Hal lain yang
mulai saya rasakan setelah beberapa lama tinggal di Yogya adalah kemacetan yang
terjadi pada saat-saat tertentu dan dibeberapa titik. Seperti di selatan
bundaran UGM ketika jam pulang sekolah dan pulang kerja kantor, sekitar Jalan
Malioboro ketika musik liburan serta Jalan Wonosari hingga perbukitan Patuk
(sekitar Bukit Bintang) saat akhir pekan. Selain itu dulu saat Jalan Prof.
Yohanes yang teletak di Sagan belum dijadikan satu arah, kepadatan lalu lintas
sangat terasa. Namun, saat ini kepadatan tersebut sudah dapat teruai.
Selain itu
semakin banyaknya bangunan-bangunan hotel di wilayah Kota Yogya juga
mengakibatkan semakin padatnya jalan raya. Banyaknya kendaraan yang membawa
bahan bangunan dan berhenti dibahu juga menjadi faktor semakin macetnya
jalan-jalann di Yogya. Kemacetan di Yogya akan sangat terasa ketika liburan
Hari Raya Natal dan liburan Tahun Baru. Hampir diseluruh wilayah Kota Yogya
mengalami meningkatan jumlah kendaraan.
***
Yogya yang
menyangdang predikat Kota Pelajar sangat tepat dengan dengan terletaknya empat
perguruan tinggi besar (UGM, UNY, UIN SUKA, UII) di bagian utara dan destinasi
wisata yang berada di bagian selatan, menjadikan mereka para pelajar dan
wisatawan dapat berjalan beriringan tanpa menganggu satu dengan yang lain.
Kehidupan yang ada kita bayangkan dan kehidupan yang ternyata terjadi
seringkali tidak sesuai, namun kita tetap harus terus berjuang untuk
mendapatkan apa yang kita inginkan.
***
Komentar