Musik: Salah Satu Media untuk Mengenal Budaya Daerah
Oleh : Immas Putri A
Kotahitanga Pop Etnik Maori Selandia Baru
Maori
dipercaya sebagai orang-orang Polinesia yang berasal dari keturunan Taiwan dan
beremigrasi ke Melanesia lalu dilanjutkan berlayar kearah timur. Mereka disebut
Moriori dan lebih dulu mendiami kepulauan Selandia Baru. Setelah terjadinya
migrasi besar yang dilakukan oleh suku Maori ke Selaindia Baru mereka mengalami
pergesakan dan menyebabkan suku Moriori hancur. Maori dikenal sebagai pelaut
yang ulung hingga akhirnya mereka menetap di pantai timur Selandia Baru.
Nama
Maori sendiri sebetulnya baru ada setelah kedatangan bangsa Eropa ke Selandia
Baru. Awalnya bangsa Polinesia hanya menamai diri mereka dengan sebutan “iwi”
yang secara harfiah artinya tulang. Maksud dari iwi sendiri adalah penanda
bahwa mereka terikat dalam satu garis keturunan nenek moyang yang sama, bangsa
polinesia dari timur pasifik. Pada awalnya hanya mereka yang tinggal di
Selandia Baru maka tidak ada nama kelompok. Sekitar tahun 1830 bangsa Eropa
mulai datang ke Selandia Baru dan menamai penduuduk yang telah tinggal dengan
sebutan Maori. Hal itu digunakan untuk membedakan antara pendatang antara
bangsa pendatang dan penduduk asli.
Akibat
imigrasi itu suku Maori mengalami perpaduan
budaya dengan bangsa barat, salah satunya pada musik. Musik mereka yang awalnya
hanya berasal dari bunyi-bunyian yang monoton, muram, dan unik lalu mendapat
pengaruh dari musik-musik jazz, country, hip-hop, dan lain-lain. Seperti pada
lagu Kotahitanga sendiri, dalam lagu tersebut telah menggunakan alat musik dari
barat.
Saat pertama kali mendengar
lagu ini, saya merasa terdapat ekspressi keceriaan. Namun, ketika masuk ke bagian
pertengahan muncul ekspresi kesedihan. Hal itu terlihat dari perubahan suara
yang awalnya mengebu-gebu kemudian berubadah menjadi mendayu-dayu. Meskipun tetap
dengan nada tinggi serta tempo yang cepat. Menurut saya dalam lagu inni
terdapat pesan akan disampaikan yaitu ajakan untuk bersatu memperjuangkan
sebuah tujuan. Selain itu juga terlihat adanya rasa sedih karena adanya
konflik. Lagu ini juga mengingatkan
pada peristiwa gerakan Kotahitangi tahun 1890 dan Te Kotahitanga tahun 1960an[1].
·Rokudan Jepang
Dalu
musik Jepang sangat terpengaruh oleh musik-musik dari daratan Cina dan
Semenanjung Korea. Pada akhirnya musik Jepang memiliki ciri khasnya tersendiri.
Musik Jepang sering dimainkan di kuil-kuil, istana untuk pemujaan para dewa,
dan hiburan sosial. Instrumen rokudan menurut saya termasuk jenis gagaku menggunakan alat musik koto.
Gagaku merupakan jenis musik
klasik yang ada di istana Kekaisaran sejak zaman Heian. Gagaku dibagi menjadi
dua yaitu kangen (管弦) (musik instrumen) dan bugaku (舞楽) (tarian disertai gagaku). Sekitar abad ke 15 musik
instrument tunggal, seperti shamisen dan koto menjadi popular. Perkembangannya
mencapai puncak kejayaan pada abad ke 17 sebagai pengiring kabuki dari musik
teater tradisional Jepang.
Tangga nada
di Jepang memiliki kesamaan dengan tangga nada yang ada di Jawa yaitu
pentatonik. Koto yang memiliki nada dasar “do re mi so la” atau “re mi so la
si” yang biasa disebut “Yo-Onkai”. Nada-nada ini relatif bersifat riang. Selain
itu juga terdapat nada datar atau Hirajoshi. Nada itu dibuat oleh Yatsuhashi
Kengyo terdapat nada “mi fa la si do” nada ini disebut “In-Onkai” karena lebih
sendu dan mengugah emosi.
Koto sendiri
adalah alat musik yang menyerupai kecapi. Alat musik ini memiliki 13 dawai,
karena menggunakan 5 tangga nada maka biasanya koto dapat menghasilkan 2,5
oktaf. Dawai koto pada awalnya terbuat dari sutera, tetapi saat ini telah
diganti dengan bahan sintesis. Permainannya menggunakan “Tsume” atau kuku palsu
untuk 3 jari kanan. selain itu “Tsume” juga dapat digunakan pada tangan kiri.
Petikan
dawainya yang pelan membawa suasana menyadi syahdu. Ciri khas musik Jepang yang
tenang juga sangat terasa dari instrument ini. Dengan irama yang pelan dan
tempo yang tetap membuat lagu ini semakin terasa nuansa klasiknya. Instrument
ini menujukkan kelembutan dan romantis.
Lagu Teke Pata Ngada Bajawa Flores
Bajawa
merupakan ibu kota Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kota ini
berada di Pulau Flores. Di kabupaten Ngada terdapat tiga daerah kultur yaitu,
Bajawa, Nagekeo, dan Riung. Ketiga daerah itu memiliki ciri khas masing-masing
dalam mengekspresikan kegiatan bermusingnya, khususnya pada tarian dan
nyanyian. Perbedaan tersebut cukup besar. Persaman dari ketiganya adalah
ekspresi musik selalu dikaitkan dengan kehidupan berkelompok mereka. Seperti
kebanyakan masyarakat tradisional yang kegiatan seninya sangat erat berhubungan
dengan aktivitas berkelompok. Misalnya
mendirikan rumah baru, rumah adat, tempat ibadah atau pemujaan, membuka ladang,
panen, inisiasi, kematian, upacara adat dan lain-lainnya.Seni musik atau seni
bunyi mereka dihasilkan oleh suara manusia dan alat-alat instrumen. Mereka
mengungkapkan perasaannya melalui seni vokal lewat suara manusia dalam bentuk
kata-kata berupa syair atau lagu
Oleh
karena itu syair-syair yang ada dalam lagu umunya memiliki pesan tetang nasehat
kepada anak muda, kerukuna, pemujaan terhadap nenek/moyang, kematian serta
ucapan syukur atas hasil panen. Lagu-lagu Ngada juga memiliki beberapa ciri
1. Lagu-lagunya biasanya terdiri dari perulangan : solo – refren
panjang – solo – refren pendek atau jawaban solo.
2. Khusus pada kultur Nagekeo: solo panjang – intro vokal –
refren panjang yang terdiri dari beberapa bagian yang selalu didahului dengan
intro vokal – solo pendek – jawaban solo (yaitu penggalan dari akhir refren
panjang – intro vokal (kadang-kadang dengan modulasi) untuk masuk ke refren
panjang sebagai penutup.
3. Bahan nadanya berbeda untuk masing-masing kelompok kultur.
- Lagu-lagu Bajawa menggunakan bahan nada 1 2 3 4 5.
- Lagu-lagu Riung menggunakan bahan nada 1 2 3 4 5 pada bagian pertama, dan 3 4 5 6 7 pada bagian kedua.
- Lagu-lagu Nagekeo, menggunakan nada 1 2 3 4 5 6 pada bagian pertama, dan 3 4 5 6 7 i pada bagian kedua[2].
Seperti lagu Teke Pata yang mana
dalam lagu tersebut menggabarkan bahwa aktivitasnya dilakukan secara
berkelompok. Teke sendiri memiliki arti tanda pada pembuatan rumah adat. Disitu
juga tampak pembagian dalam bernyanyi, dengan adanya solois laki-laki lalu ada
suara perempuan yang masuk. Lagu ini juga sangat terasa kebersamaannya. Interlocking
yang ada juga sangat terlihat.
Referensi
Komentar