Pedestrian : Sebuah Jalan Bagi Wisatawan


Pedestrian :
Sebuah Jalan Bagi Wisatawan



Dosen Pengampu :
Pande Made Kutanegara. Drs., M.A.




Oleh :
Immas Putri Agustin
14/363546/SA/17317





Mata Kuliah Antropologi Pariwisata
Antropologi Budaya
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
2015

 Pedestrian : Sebuah Jalan Bagi Wisatawan

Akhir tahun identik dengan berlibur. Untuk tahun ini dalam dua minggu setidaknya terdapat tiga tanggal merah. Yaitu tanggal 24 Desember yang bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW dan pada tanggal 25 Desember merupakan Hari Raya Natal. Serta satu lagi tanggal 1 Januari 2016 adalah tahun baru. Beberapa tahun terakhir libur anak sekolah pada semester ganjil juga dilaksanakan selama dua minggu yang dimulai sebelum natal dan diakhir setelah tahun baru. Waktu yang cukup panjang ini dapat digunakan oleh keluarga maupun sekolah-sekolah untuk melaksanakan liburan. 

Yogyakarta sebagai salah satu kota wisata yang ada di Indonesia dengan ciri khas budayanya menjadikan kota ini sebagai kota favorit untuk dikunjungan wisata terutama untuk mereka yang masih sekolah. Disisi lain anak-anak muda -setingkat mahasiswa- yang berasal dari luar kota dan memiliki waktu libur akhir tahun tidak jarang juga ingin menghabiskan hari liburnya di Yogya. Selain memiliki destinasi budaya, Yogya juga terkenal dengan beberapa tempat wisata yang lebih indah jika dinikmati di malam hari. Seperti kawasan Malioboro, 0 KM, Tugu Yogya, Sekaten, Alun-Alun Selatan, Bukit Bintang dan Taman Lampion di Monumen Yogya Kembali.

Identitas sebagai kota pelajar yang disandang Yogya sendiri juga memiliki andil yang cukup besar terhadap jumlah kunjungan anak-anak sekolah. Jika kita amati setiap hari selalu ada bus pariwisata yang membawa anak-anak sekolah untuk berkunjung ke Malioboro. Entah di siang hari atau di malam hari. Baik mereka yang masih berada di sekolah dasar ataupun mereka yang telah duduk di bangku sekolah menengah atas. Tak jarang ada juga anak-anak TK yang juga diajak berkunjung ke Malioboro, biasanya mereka terlebih dulu mendatangi Taman Pintar. Sebuah wahana edukasi yang sesuai untuk anak-anak TK hingga sekolah dasar. Letaknya yang berdekatan dengan Benteng Verdeburg serta Maliboro membuat tempat ini menjadi daya tarik tersendiri karena wisatawan dapat mengunjunginya dengan berjalan kaki.

Berjalan kearah selatan kita akan sampai di Keraton Yogyakarta. Pusat dari semua wisata yang ada di Yogyakarta. Ikon wisata yang sangat diunggulkan. Sebuah kediaman raja yang telah ada sejak masa Sultan Hamengku Buwono I[1]. Saat ini Keraton Yogyakarta telah dibuka untuk umum dengan beberapa bagian yang tetap tertutup. Sebagai ikon pariwisata Yogyakarta, keraton menjadi salah satu tempat tujuan yang seolah-olah harus dikunjungi ketika berkunjung ke Jogja. Keraton memiliki berbagai filosofi yang hingga saat ini masih diyakini oleh masyarakat.

Ke arah selatan lagi kita akan sampai pada Taman Sari. Sebuah tempat yang dulunya dijadikan taman kerajaan atau pesanggrahan sultan dan keluarga. Selain itu Taman Sari juga merupakan sebuah kompleks yang terdiri dari kolam pemandian, kanal air, serta ruang-ruang khusus. Taman Sari teletak di dalam benteng yaitu di Kecamatan Kraton. Daerah dalam benteng ini atau yang berada di Kecamatan Kraton sendiri memiliki tiga kelurahan. Pembangunan Taman Sari dilakukan secara bertahab pada masa pemerintahan Hamengku Buwono I selama 25 tahun hingga masa pemerintahan Hamengku Buwono II. Menurut Yoki.... terdapat beberapa fungsi dari Taman Sari yaitu sebagai tempat rekreasi, daerah pertahanan, tempat ibadah dan kebun fasilitator untuk kraton.

Di ujung utara Jalan mangkubumi terdapat sebuah tugu putih. Tugu tersebut awalnya bernama Tugu Golog Gilig atau Tugu Pal Putih yang dibangun oleh Hamengku Buwono I. Kemudian muncul sebuah filosofi manunggaling kawulo lan Gusti. Bagian dasar tugu pada saat itu berbentuk persegi, atasnya berbentuk silinder dengan puncak bola bulat[2]. Namun, setelah gempa hebat yang terjadi di Yogyakarta pada tahun 1796[3]dan menyebabkan tugu tersebut hancur maka Belanda membangun kembali tugu tersebut seperti saat ini yang ada. Tugu saat ini memiliki ketinggian dua belas meter diatas permukaan tanah. Tugu memiliki empat bentuk fisik, yaitu kotak berundak pada bagian bawah sebagai landasan, kotak dengan prasanti pada setiap sisinya, piramid tumpul dengan ornamen yang menempe; pada setiap sisinya, dan pucuk tugu berbentuk kerucut[4]. Akibat berubahan bentuk tugu secara fisik tersebut saat ini filosofi tersebut menimbulkan sebuah persoalan tersendniri. Terlepas dari filosofi yang dimilikinya Tugu Jogja ini setiap harinya selalu ramai dikunjungi wisatawan sekedar untuk berfoto. Baik pada siang hari ataupun pada malam hari, tetapi saat malam hari umumnya lebih banyak jumlah wisatawannya.

Kesemua objek wisata yang disebutkan diatas terletak pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Gondomanan dan Kecamatan Kraton dengan titik pusat wisata di sekitar 0 KM. Pada musim libur akhir tahun seperti ini ataupun ketika libur lebaran kawasan-kawasan tersebut menjadi salah satu kawasan padat kendaraan. Selain banyaknya wisatawan yang datang di sekitar kawasan itu, letak parkir yang juga dekat dengan kawasan wisata menjadikan banyaknya penumpukan kendaraan. Disisi lain kawasan 0 KM yang biasa digunakan sebagai pusat kegiatan juga membuat terganggunya arus lalu lintas. 
Sumber Google Maps 26 Desember 2015 Pukul 13.24

Sumber : Google Maps pada 26 Desember 2015 Pukul 19.47
Warna merah yang ada menunjukkan adanya kemacetan atau kendaran-kendaraan berjalan secara pelan akibat banyaknya kendaraan yang melintasi jalan itu. Kawasan Malioboro hingga Tugu Yogya tidak hanya siang hari, malam haripun tetap mengalami kemacetan.

Selain itu Yogyakarta yang terkenal dengan kreativitas para pemudanya hampir setiap bulan selalu ada pertunjukan ataupun pentas seni. Baik yang diselenggarakan oleh mahasiswa, perkumpulan seni, masyarakat umum, ataupun pemerintah daerah. Hal ini juga menjadi daya tari tersendiri untuk Yogyakarta. Tempat pelaksanaan kegiatan yang juga masih berada di sekitar Taman Pintar dan kawasan Malioboro yaitu di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) menjadikan kawasan ini semakin padat dengan pengunjung. Memang tidak setiap hari di TBY digelar acara, akan tetapi jika pelaksanaan acara itu bertepatan dengan musim liburan juga menjadi suatu permasalahan tersendiri. Meskipun acara tersebut sedikit banyak memberikan kontribusi terhadap jumlah kunjungan ke Jogja.

Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah terjadinya kepadatan kendaraan pada musim liburan yang melintasi kawasan 0 KM, Malioboro, serta sekitar kraton. Dimana pada titik-titik tersebut merupakan kawasan pusat wisata Jogja. Baik wisata edukasi, budaya ataupun wisata belanja. Dalam menganalisis permasalahan ini penulis menggunakan konsep geografi yang memiliki sepuluh dasar yaitu konsep lokasi, konsep jarak, konsep keterjangkauan, konsep pola, konsep morfologi, konsep aglomerasi, konsep nilai guna, konsep interaksi/interdependensi, konsep diferensiasi areal, dan konsep keterkaitan keruagan[5]. Tidak semua konsep dasar tersebut akan digunakan oleh penulis. Tetapi penulis hanya menggunakan konsep lokasi, jarak, keterjankauan, aglomerasi, dan keterkaitan keruangan.

Konsep lokasi
Lokasi atau jarak ini dibedakan menjadi dua yaitu lokasi absolut dan lokasi relatif. Lokasi absolut merupakan lokasi tetap terhadap koordinat. Sedanggkan lokasi relatif memiliki arti yang berubah-ubah berkaitan dnegan keberadaan lokasi sekitarnya. Dari kesemua objek wisata yang disebutkan diatas tadi kesemuanya terdapat di dua kecamatan yaitu Gondomanan dan Kraton.

Konsep Jarak
Jarak mmeiliki arti yang penting dalam kehidupan manusia karena berkaitan dnegan sosial, ekonomi dan pertahanan. Jarak meskipun memiliki arti penting dengan seiring perkembangan teknologi dan kemajuan kehidupan. Jarak tidak hanya dinyatakan dengan ukuran jarak tetapi juga dapat dinyatakan dengan waktu tempuh. Dari objek yang paling utara yaitu Tugu Jogja sampai Taman Sari yang letaknya di selatan jika ditarik secara garis lurus memiliki jarak sekitar 4,5 KM. Dimana hal itu dapat di tempuh dengan berjalan kaki kurang dari satu jam.

Konsep Keterjangkauan
Keterjangkauan atau accessibility tidak hanya mengenai jarak tetapi juga dengan kondisi medan. Konsep ini tidak hanya mengenai wilayah tetapi juga untuk individu. Jika dilihat objek Tugu, Malioboro, Taman Pintar, Kraton Jogja, dan Taman sari merupakan kawasan yang terjangkau. Baik ditempuh dengan berjalan kaki ataupun dengan menggunakan transpotasi tradisional seperti andong dan becak.
Konsep Aglomerasi
Aglomerasi adalah kecenderungan persebarana yang bersifat mengelompok pada suatu wilayah. Hal ini tampak pada letak objek wisata yang berpusat di sekitar titik 0 KM yang mana berada pada dua kecamatan.

Konsep Keterkaitan Keruangan
Keterkaitan keruangan atau asosiasi memperlihatkan adanya keterkaitan antar  fenomena baik alam, tumbuhan dan kehidupan sosial. Dimana ini terlihat dari keterkaitan antara wisatawan dan tukang becak.

Jika dilihat dari beberapa konsep tersebut kawasan titik 0 KM keutara hingga Tugu Jogja dan ke selatan hingga Taman sari merupakan satu tujuan pokok wisatawan. Memang tidak semua wisatawan yang berkunjung ke Jogja akan mendatangi semua lokasi wisata tersebut. Namun, kebanyakan dari mereka pasti akan mengunjungi kawasan Malioboro. Permasalahan yang ada di Malioboro sendiri adalah kurangnya tempat untuk pejalan kaki. Trotoar yang seharunya digunakan oleh pejalan kaki tetapi justru digunakan untuk berjualan oleh pedagang kaki lima.

Beberapa hari yang lalu saya melihat suatu hal cukup ganjil. Waktu itu hari Selasa pagi dapat dibilang bukan merupakan hari libur ataupun akhir pekan. Saya kebetulan akan ada kegiatan di daerah Sayidan, karena Trans Jogja yang ditumpangi hanya dapat sampai pada shelter 3 Malioboro akhirnya saya turun di situ. Saat pertama kali saya keluar dari shelter 3 rasanya ada yang berbeda. Jika biasanya saya berkunjung ke Malioboro –sekitar 0 KM– itu pada siang hari kali ini saya sudah sampai di sana sekitar pukul setengah sepuluh pagi. Masih bisa dibilang pagi. Biasanya saat keluar dari shelter 3 kita akan mencium bau sate dan berbagai pedagang kaki lima di trotoar kali ini saya tidak menjumpainya. Memang, masih ada satu atau dua pedangang saja di sana.

Saat itu saya benar-benar terkejut dan juga kagum jika ini memang karena revitalisasi yang dilakukan pada pedang kaki lima di sekitar benteng Verdeburg. Tapi apakah itu benar? Saat saya berjalan kearah selatan kemudian ke kiri, di sana ada segerombolan Satpol PP lengkap dengan sebuah mobil dinasnya. Sebelumnya saya juga melihat seorang Satpol PP membawa barang dagangan. Saya pikir itu msih mau dipindahkan. Akan tetapi karena saat itu tujuan saya bukan untuk mencari tahu akhirnya saya hanya lewat saya tanpa mencari tahu selebihnya. Memang saya masih penasaran dengan yang sebenarnya terjadi. Apakah tadi ada operasi PKL atau memang para PKL itu dipindahkan atau PKL belum berjualan pada jam segitu?

Pada saat saya pulang sekitar pukul setengah satu siang, saat melintasi titik 0 KM lagi saya menyempatkan diri untuk melihat kawwasan depan benteng kemabali dari dalam Trans Jogja. Wajah yang berbeda. Sudah ada payung-payung berwarna-warni dengan ukuran besar terpasang di sana.  Jika dilihat dari adanya payung-payung itu saja sudah menunjukkan bahwa di sana sudah ada pedagang kaki lima yang berjualan. Hal itu menunjukkan bahwa tadi pagi itu bukan pemindahan pedang. Mungkin hanya operasi PKL –entah rutin atau tidak– meningat hari itu sudah semakin dekat dengan Hari Raya Natal dan libur akhir tahun.

Jika saya pemindahan para PKL itu bernar adanya dan pejalan kaki memiliki ruang yang lebih luas kenyamanan berjalan di sekitar kawasan Malioboro pasti lebih terasa. Sudah sejak lama kawasan Malioboro dari titik 0 KM hingga Tugu Jogja akan dijadikan kawasan pedestrian. Namun, hingga saat ini hal itu belum dapat terlaksana. Kabar terakhir yang ada jika pada malam pergantian tahun ini -2015-2016- kawasan Malioboro akan ditutup untuk kendaraan. Seperti yang diberitakan oleh Radar Jogja Online bahwa kawasan Malioboro akan ditutup untuk berbagai kendaraan.

Syarif menjelaskan, selama 24 jam (sehari semalam), sejak 31  Desember 2015 pukul 06.00 WIB hingga 1  Januari 2016 pukul 06.00 WIB, pengendara sepeda motor yang menuju Malioboro akan diarahkan memarkir kendaraan di ABA.”Kami perkirakan, masyarakat yang akan merayakan malam pergantian tahun di Malioboro akan lebih banyak dibanding tahun se-belumnya. Apalagi libur panjang tahun ini bersamaan dengan libur sekolah,” tandasnya.Hanya saja, Syarif buru-buru memastikan, itu hanya  relokasi sementara. Saat pergantian tahun untuk memberikan ruang yang lebih maksimal kepada pejalan kaki. ”Pemindahan sementara  lokasi parkir hanya sebagai strategi baru untuk melayani masyarakat yang akan merayakan malam per gantian tahun,” ujarnya[6].

Harapan bahwa kawasan Malioboro akan menjadi pedestrian seterusnya ternyata masih beklum dapat terlaksana, karena hal ini hanyalah salah satu antisipasi dari pihak pemerintah untuk menanggulangi banyaknya wisatawan yang akan merayakan tahun baru di kawasan Malioboro.

Jika dilihat dari berbagai konsep yang digunakan oleh penulis di atas tidak menutup kemungkinan jika pedestrian itu diterapkan dari Tugu Jogja sampai dengan Taman Sari. Memang terlihat cukup jauh tetapi wisatawan dapat mencapainya kurang dari satu jam dengan berjalan kaki. Dengan catatan mereka melakukan perjalanan langsung dari utara ke selatan ataupun dari selatan ke utara tanpa berhenti di titik lain. Hal itu juga akan meningkatkan permintaan akan kendaraan tradisional seperti becak dan delman. Kendaraan yang identik dengan Jogja namun mulai hilang sedikit demi sedikit.

Perlu adanya penyediaan lahan parkir yang lebih luas serta memadai untuk jumlah kunjungan yang terus bertambah setiap harinya. Pengalihan jalur kendaran yang juga semakin banyak pastinya juga akan menpengaruhi sektor-sektor lain. Disinilah dan kesadaran masyarakat luas diperlukan guna mengantisipasi terjadinya penumpukan kendaraan yang semakin banyak pada saat musim liburan. Jika hanya dari Tugu Jogja hingga 0 KM saja yang digunakan untuk pedestrian maka kawasan 0 KM tetap mengalami penumpukan kendaraan sehingga wisatawan masih akan mengalami permasalahan.

Selain menggunakan becak dan delman, mungkin juga bisa disediakan persewaan sepeda. Dimana wisatawan dapat menikmati Jogja dengan bersepeda jika merekak merasa terlalu berat untuk berjalan kaki. Selian mengurangi kemacetan hal ini juga dapat megurangi tingakt polusi yang dihasilkan oleh kendaraan. Pembangunan kawasan pedestrian juga bisa menjadi solusi dari minimnya ruang terbuka hijau ataupun kawasan taman kota yang jarang ditemui di Kota Jogja. Dengan begitu maka akan banyak tempat-tempat –setidaknya dari Tugu hingga 0 KM- memiliki taman-taman kecil.

Kesimpulan
Kawasan wisata di Jogja yang terpusat di dua kecamatan yaitu Gondomana dan Kraton membuat kawasan ini mengalami penumpukan kendaraan saat musim liburan. Diperlukan adanya lokasi parkir untuk kendaraan wisata yang cukup serta memadai untuk menampung jumlah kendaraan wisatawan yang kian meningkat. Akan lebih baik jika lokasi parkir tersebut sedikit lebih jauh dari kawasan Malioboro, 0 KM, dan kraton. Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah pembuatana kawasan pedestrian. Pedestrian ini sendiri nantinya dapat dibagi menjadi dua yaitu benar-nemar khusus untuk pejalan kaki serta jalan untuk kendaraan tradisional –becak dan delman-.

Selain itu pemeirntah juga harus bisa menyediakan saran pendukung lainnya seperti memperbanyak jumlah becak dan delman. Selain itu, juga menarik warga untuk mau menjadi kusir serta tukang becak. Diperlukan adanya sebuah organisasi tersendiri yang dapat mengelolanya. Dimana orang-orang itu nantinya akan digaji berdasarkan banyaknya wisatawan yang mereka antar atau berdasarkan upah minimal. Sehingga terdapat jaminan bahwa merekan akan tetap mendapatkan hasil.




Daftar Pustaka
Morin, Lutse Lambert D. 2014. Problematika Tugu Yogyakarta dari Asspek Fungsi dna Makna. Jurnal Of Urban Society’s Arts. Vol 1 No. 2.
Adrisijanti, Inajati. 2007. Kota Yogyakarta Sebagai Kawasan Pusaka Budaya Potensi dan Permasalahannya. Disajikan dalam diskusi sejarah “Kota dan Perubahan Sosial Perspektif Sejarah”. Yogyakarta
Agustina, Susanti. 2012. Pemanfaatan Andong sebagai Pendukung Pariwisata di Kota Yogyakarta. Skripsi S1 Pendidikan Geografi. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.


Media Online
Radar Jogja dari laman http://www.radarjogja.co.id/blog/2015/12/26/tahun-baru-realisasi-pendestrian-malioboro/
Portla Pemerintah Kota Yogyakarta. Sejarah Kota Yogyakarta. Dari laman http://www.jogjakota.go.id/about/sejarah-kota-yogyakarta
http://www.yukpiknik.com/destinasi/wisata-malam-jogja/
http://www.hipwee.com/travel/10-wisata-malam-khas-jogja-yang-membuat-kota-ini-tak-cukup-dikunjungi-sekali-saja/
http://www.yukpiknik.com/destinasi/wisata-sekitar-malioboro/


[2] Lutse Lambert Daniel Morin. 2014. Problematika Tugu Yogyakarta dari Aspek Fungsi dan Makna. 136
[3] Lutse Lambert Daniel Morin. 2014. Problematika Tugu Yogyakarta dari Aspek Fungsi dan Makna.
[4] Lutse Lambert Daniel Morin. 2014. Problematika Tugu Yogyakarta dari Aspek Fungsi dan Makna.

[5] Susanti Agustina. 2012. Pemanfaatan Andong Sebagai Pendukung Pariwisata Di Kota Yogyakarta.


[6]Diakses dari http://www.radarjogja.co.id/blog/2015/12/26/tahun-baru-realisasi-pendestrian-malioboro/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Formalis dan Substantif dalam Antropologi Ekonomi

Analisis Tema, Alur, dan Karakter Dalam Novel Perahu Kertas