Catatan Konsep Memahami Kebudayaan (Indonesia) Dari Prespektif Antropologi


Oleh : Immas Putri A





1.    Bagi Clifford Geertz, kerja antropolog (etnografik) itu seperti “mengkon­struksi gadjah misterius, agak gaib, dan tinggal jejak kakinya saja yang ada dalam pikiran kita.”  Argumennya: “After the Fact (rumusan setelah kejadian) [1] itu adalah sebuah teka-teki ganda, dua lipatan kias (simbolik) pada suatu makna nglegena (literal, apa adanya).”  Pada lipatan pertama, teka-teki itu berarti tafsir retroaktif atau kilas balik (verifikatif). Pada lipatan kedua (lebih problematik dari sebelumnya), teka-teki itu menurut Geertz berarti kritik post-positifis atas realisme empirik, yaitu gerakan menjauh dari teori-teori koresponden kebenaran dan pengetahuan yang menyebabkan istilah “fakta” sebagai suatu urusan yang rentan. Akhirnya Geertz menemukan tidak ada jaminan untuk suatu kata akhir atas persoalan (budaya) yang tidak terbatas di antara orang-orang yang sedemikian berbeda-beda sepanjang rentang waktu yang berbeda-beda pula (Geertz 1995:167-168).[2]
 
2.    Benedict Anderson (2004:29-45) berargumentasi bahwa pembentuk­an suatu identitas kolektif, antara seseorang dan jamak/unversalitas/ kolektivitas/komunitas-nya tidaklah mengikuti suatu logika serial yang tunggal. Mengenai nasionalisme, misalnya, Anderson mengungkap­kan bahwa subjektivitas kolektif (universal) melibatkan dua logika serial yang sangat berbeda. Pertama adalah logika serial yang terikat, yang diturunkan dari sensus (kategorisasi), diterapkan dan dihitung oleh aparat Negara. Logika serial yang kedua itu tidak terikat dan tidak tercacah. Mengikuti serial ini imajinasi nasionalistik seseorang tergantung pada akumulasi pengetahuan yang dikumpulkannya dari media. Oleh karena itu banyak varian nasionalisme.
3.    Siegel (1997) mengklaim bahwa sejarah bangsa Indonesia berasal dari efek-efek yang terjadi akibat hubungan-hubungan yang dimungkinkan oleh kehadiran lingua franca. Jadi pemahaman kekhususan sejarah Indonesia tergantung pada pemahaman tentang suatu titik tengah yang memproduksi efek-efek kultural (Siegel 1997: 8-9).
4.     Jadi revolusi Indonesia menghasilkan suatu yang tidak sepenuhnya asing tetapi juga tidak sepenuhnya domestik, yaitu semacam budaya yang seolah-olah berasal dari negeri antah berantah tanpa alamat, tidak barat tidak timur.
5.  Melalui penterjemahan dalam lingua franca dan simbol-simbol global itu, budaya-budaya lokal kemudian mencari pengakuan atas keberadaannya.
6.     Di sini budaya lama (soal hantu dan demit) tidak lantas mati oleh kedatangan unsur budaya baru tetapi bertahan secara kreatif (melawan hirarki bahasa baru). 
7.   Ketika politik dan kekuasaan Negara masuk serta menarik rantai komunikasi kembali ke dalam (pelanggengan kuasa) dirinya sendiri, maka hubungan seseorang dan bahasanya terputus. Ia pun jadi latah, kehilangan kontrol terhadap bahasa, bahkan dikuasai oleh bahasa (resmi/pemerintah).
8.    Bahasa telah mendeskriminasikan para penuturnya satu dari yang lain karena bahasa diperlakukan untuk merepresentasikan kelas.
9.      Betapa bahasa-bahasa di hindia belanda itu berkelas-kelas.
10.  Karena fakta sejarah bahwa bahasa-bahasa di Hindia Belanda itu berkelas-kelas, maka kembali ke bahasa ibu (asli) saja tidak cukup jika bahasa itu tidak bebas untuk mengolah globalisasi juga. Jadi, konsep kebudayaan  perlu diletakkan sebagai usaha untuk menciptakan perubahan.


[1]   Fakta adalah pernyataan atas gejala/kejadian/peristiwa, something said to be true (lihat Webster’s Universal College Dictionary, New York Gramercy Books, 2001)
[2]   Bandingkan Geertz (1992: 25) yang menyebut empat cirri paparan etnografis:” … paparan itu bersifat interpretatif: apa yang interpretatif adalah aliran perbincangan sosial;…mencoba menyelamatkan apa yang “dikatakan” dari perbincangan itu…dan menetapkannya dalam istilah-istilah yang dapat dibaca…; dan … paparan itu bersifat mikroskopis.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Formalis dan Substantif dalam Antropologi Ekonomi

Analisis Tema, Alur, dan Karakter Dalam Novel Perahu Kertas