Review Mengembangkan Wisata Budaya dan Budaya Wisata
Review Mengembangkan
Wisata Budaya dan Budaya Wisata
Sebuah Refleksi Antropologi dari Heddy Shri Ahimsa-Putra
Sebuah Refleksi Antropologi dari Heddy Shri Ahimsa-Putra
Oleh : Immas Putri A
Indonesia sebagai sebuah
negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau serta berbagai suku bangsa yang
mendiaminya merupakan sebuah harta pariwisata yang begitu besar. Dari berbagai
suku bangsa yang ada tersebut dapat mejadi daya tarik untuk pariwisata. Akan
tetapi belum adanya pengembangan yang optimal dari masyarakat dan pemerintah
sehingga membuat daya tarik itu belum dapat termanfaatkan secara optimal. Dalam
artikel ini Ahimsa-Putra membahas mengenai pentingnya pengembangan wisata
budaya untuk Indonesia guna memajukan dunia pariwisata yang ada. Jika hal ini
dapat dikelola dengan baiik maka dampak terhadap bidang-bidang yang lain juga
mendapat pengaruh.
Dalam tulisan ini
Ahimsa-Putra mendefinisikan wisata budaya sebagai perjalanan dan kegiatan untuk menikmati keindahan, perbedaan dan
keunikan berbagai perangkat simbol yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau
yang ada di satu atau beberapa daerah tertentu (Ahimsa-Putra 2004).
Terdapat dua kelompok yang memiliki peran penting dalam hal ini yaitu wisatawan
dan winisatawan. Sedangkan budaya wisata adalah keseluruhan simbol-simboll yang dilibatkan, dimanfaatkan, dalam (a)
perjalanan dan kegiatan melewatkan waktu luang di luar lokasi atau tempat
tinggal sehari-hari untuk menikmati keindahan, keunikan, perbedaan, dari
lingkungan (fisik, sosial dan budaya) yang lain, dan dalam (b) berinteraksi
dengan wisatawan/pengunjung ketika berada di tempat tinggal sendiri (Ahimsa-Putra
2004). Jika saya simpulkan budaya wisata merupakan segala aktivitas yang
dilakukan oleh wisatawan ketika melakukan perjalanan wisata. Hubungan antara
wisata budaya dan budaya wisata ini saling timbal-balik.
Dalam pengembangan wisata
budaya dari tulisan Ahimsa-Putra saya menyimpulkan terdapat tiga tahapan
penting. Tiga tahapan tersebut adalah pra-pengembangan, pengembangan dan paska
pengembangan. Pra-pengembangan itu dimulai dengan penggunaan konsep wisata
budaya seperti apa yang digunakan dalam mengembangkan suatu kawasan wisata
tersebut. Dilanjutkan dengan identifikasi objek-objek wisatanya. Pada saat
pengembangan sendiri dilakukan ketika identifikasi mengenai pariwisata apa yang
baik untuk siapa. Contohnya seperti minat wisatawan nusantara akan berbeda
dengan minat wisatawan mancanegara. Banyak hal yang menjadi pengaruh dari
pengambilan keputusan terhadap pemilihan objek wisat itu sendiri. Perbedaan
minat tersebut pada akhirnya juga mempengaruhi pada pengembangan wisata budaya
itu sendiri. Hal itu tidak lepas dari budaya wisata yang dimiliki oleh setiap
wisatawan.
Salah satu pengembangan
wiaata yang diajukan oleh Ahimsa-Putra dalam tulisan ini adalah pembuatan paket
wisata budaya. Salah satu faktor utama dalam pembuatan paket wisata ini adalah
latar belakang dari wisatawan yang
menjadai target pasar pariwisata ini sendiri. Misalnya ketertarikan
antara wisman dan wisnus terhadap suatu objek wisata itu berbeda karena mereka
memiliki pendefinisian yang berbeda mengenai ‘keindahan’, keunikan, dan unsur
keagamaan sebuah objek wisata budaya itu (Ahimsa-Putra 2004:14). Contoh lain
yang mungkin dapat saya berikan adalah kebiasaan orang Indonesia ketika berwisata
cenderung suka berbelanja sedangkan wisatawan mancanegara lebih menyukai
cerita-cerita mengenai sejarah, mitos maupun cerita-cerita lokal yang terdapat
pada tempat wisata.
Sedangkan pasca
pengembangan itu adalah dampak-dampak yang timbul setelah pengembangan wisata
budaya sendiri. Dampak tersebut baik yang positif ataupun negatif dalam bidang
sosial maupun budaya. Dampak sosial adalah perubahan yang terjadi pada
pola-pola perilaku, pola interaksi, relasi sosial, serta pranata-pranata sosial
dalam suatu masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kontak anatara warga
masyarakat tersebut dengan orang-orang baru (Ahimsa-Putra 2004:17). Sedangkan
dampak budaya adalah munculnya simbol-simbol dan pemaknaan baru dalam suatu
masyarakat sebagai akibat dari kontak masyarakat tersebut dengan para wisatawan
atau semakin berkembangnya kegiatan wisatawan dalam masyarakat tersebut
(Ahimsa-Putra 2004:17).
Contoh
Kasus
Berangkat dari definisi
wisata budaya yang dimiliki oleh Ahimsa-Putra ini dengan penekanan pada ‘menikmati
keindahan, perbedaan dan keunikan’ serta ‘ada di satu atau beberapa daerah
tertentu’ saya ingin mengajukan permasalahan mengenai wisata budaya yang di
Yogyakarta. Seperti yang sudah banyak diketahui jika Candi Borobudur – Candi
Prambanan – Kraton seolah telah menjadi satu paket wisata budaya yang ada di
tengah masyarakat kita. Ketika berkunjung ke Yogya dan berniat untuk melakukan
wisata budaya maka akan terdapat rasa yang kurang puas jika tidak megunjungi
salah satu dari ketiga objek wisata tersebut.
Disisi lain banyaknya agen
perjalanan yang menawarkan paket wisata dengan objek ketiga tempat itu juga
sangat mendukung adanya citra mengenai ikon wisata Yogya sendiri. Meskipun
Candi Borobudur secara administratif tidak berada di Yogyakarta namun, objek
wisata tersebut memiliki kedekatan dari sisi peninggalan sejarah yang mana itu
sama dengan Keraton Yogya. Dari sisi peninggalan sejarah inilah yang menjadikan
ketiga objek ini menjadi paket wisata yang seolah kurang lengkap jika ada yang
tidak dikunjungi. Indah, beda dan unik disini saya artikan sebagai sesuatu yang
tidak setiap daerah memilikinya namun, jika memiliki maka terdapat perbedaan
dengan yang ada di Yogya ini. Selain itu semakin lengkapnya sarana penunjang
dari pihak agen perjalanan dalam menyediakan transpotasi untuk menuju ketiga
lokasi itu juga memiliki pengaruh. Meskipun pemerintah sudah berusaha untuk
memberikan akses yang lebih mudah bagi wisatawan yang ingin mengunjungi Candi
Borobududr dari keraton dengan menyediakan bus pariwisata akan tetpai menurut
saya hal itu belum maksimal.
Daftar
Pustaka
Ahimsa-Putra,
Heddy Shri. 2004. Mengembangkan Wisata
Budaya dan Budaya WisataSebuah Refleksi Antropologi. Prosiding.
Komentar