Melihat Orang Minahasa Melalui Kuliner

Oleh : Immas Putri A
 
Minahasa merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Jika dirunut menurut mitos yang ada, pada awalnya Minahasa berasal dari satu nenek moyang yang berasal dari pegunungan. Dimana akhirnya mereka memiliki keturunan yang membentuk kelompok-kelompok. Pada masa penjajahan Belanda kelompok-kelompok tersebut disatukan. Kelompok-kelompok itu menyebar ke berbagai wilayah dari pegunungan hingga pesisir. Meskipun menyebar keberbagai wilayah mereka tetap memiliki sebuah pandangan yang sama. Dimana hal itu tetap menjadi pengikat antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Pandangan tersebut berkaitan dengan historis maupun mitologi tentang Toar dan Lumimut.

Meskipun orang-orang Minahasa menyebar dari pegunungan hingga pesisir tetapi dalam hal makanan mereka tidak banyak memiliki perbedaan. Dimana orang-orang pegunungan banyak mengkonsumsi daging dan ikan air tawar serta nasi. Sedangkan masyarakat pesisir lebih banyak mengkonsumsi nasi dan ikan air asin. Secara geografis kedua tempat itu memiliki banyak perbedaan, namun berdasarkan penelitian Weichart ditemukan tiga jenis ciri masakan Minahasa yaitu, 


  • penggunaan cabai (rica) dalam jumlah yang sangat banyak;
  • kegemaran pada daging anjing atau daging binatang hasil buruan;
  • rebusan sayuran yang disebut tinutuan (Weichart 2004:67).


Di Indonesia memang banyak masakan yang menggunakan cabai, akan tetapi dalam masakan Minahasa jumlah cabai yang digunakan jauh lebih banyak dan lebih sering. Hal itu menunjukkan juga bahwa masyarakat Minahasa merupakan kelompok masyarakat petani dan tinggal di pedalaman. Dimana pedalaman didefinisikan dengan morfologi tanah yang cocok untuk pertanian dan bukan pada jarak aktual suatu tempat dari laut (Weichart 2004:70). Orang Minahasa juga senang menghidangkan menu masakan daging anjing atau binatang hasil buruan. Dimana menu masakan tersebut juga menonjolkan cabai. Hal itu guna mengimbangi rasa asli dari daging-daging yang sangat kuat sehingga perlu ditambah dengan rempah-rempah. Oleh karenanya cabai juga ditambahkan dalam jumlah yang banyak agar orang yang menyantapnya tidak dapat merasakan hal lain selain kepedasan yang amat sangat.

Ciri masakan yang terakhir adalah tinutuan merupakan makanan rebusan yang terdiri dari jagung, beras dan ubi manis ditambah dengan sayur-mayur lainnnya (Weichart 2004:69). Pada awalnya masakan ini dianggap sebagai makanan orang miskin. Karena konon katanya makanan ini ditemukan saat penjajahan jepang dan dalam keadaan sulit. Terlebih bahan-bahan yang digunakan dalam makanan ini dapat diperoleh di kebun lalu dijadikan bubur. Pada awalnya makanan ini dimasak oleh petani, namun perlahan orang-orang kota juga menyadari kelezatan dari makanan ini. Mereka juga beranggapan bahwa hidangan ini sesuai untuk sarapan kedua. Sehingga status tinutuan meningkat menjadi hidangan khas daerah yang mana kemudian dikenal dengan bubur Manado.

Makanan Minahasa yang banyak mengandung cabai berlebihan oleh orang Minahasa dianggap sebagai bukti kesombongan dan kecenderungan untuk pamer. Selain itu orang Minahasa juga suka untuk menghidangkan makanan dari binatang buruan. Jika tamu yang dihidangi makanan tersebut merasa aneh dan terkejut makan orang Minahasa akan semakin menawarkannya. Rasa pedas juga diartikan sebagai keberanian. Dimana orang yang dapat mengkonsumsi makanan-makanan pedas tersebut maka dia dapat dikatakan berani. Umumnya orang-orang lokallah yang lebih dulu berani mengkonsumsi makanan itu karena sudah terbiasa, sedangkan mereka bagi para pendatang masih memerlukan waktu untuk dapat menyesuaikan dengan rasa pedas yang ada.



Daftar Pustaka

Weichart, Gabriele. 2004. Identitas Minahasa: Sebuah Pratik Kuliner. Jurnal Antropologi Indonesia, 74, 59-80.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Formalis dan Substantif dalam Antropologi Ekonomi

Analisis Tema, Alur, dan Karakter Dalam Novel Perahu Kertas