Solar dan Ingatan
Solar dan Ingatan
Tugas Akhir Semester Mata Kuliah Kebudayaan dan Indrawi Manusia
Kelas Antropologi Budaya
Oleh
Immas Putri Agustin
14/363546/SA/17317
Jurusan Antropologi Budaya
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2016
Solar dan Ingatan
Deru bunyi kendaraan dan asap dari knalpot bagi
kebanyakan orang merupakan sebuah polusi. Terlebih jika kemacetan di jalanan
sedang terjadi pada salah satu titik. Desember telah memasuki hari yang
kesenian, plat-plat kendaraan luar Yogyakarta telah bersiap memasuki wilayah
ini untuk menghabiskan akhir tahun. Mulai dari kode seri kendaraan A sampai Z,
satu hingga empat digit nomor, serta dua atau tiga kombinasi seri berdasarkan
daerah pendaftaran kendaraan. Antrian di lampu merah yang pada hari biasa hanya
beberapa puluh meter maka saat akhir tahun seperti ini bisa mencapai ratusan
meter. Mereka yang menggunakan mobil harus bersabar dengan panjangnya antrian
yang ada sedangkan para pengguna roda dua akan dengan sesuka hati mencari celah
untuk dapat keluar dari kerumunan kendaraan tersebut.
Bukan tentang kemacetan di jalanan yang akan saya bahas,
tetapi kendaraan serta polusi yang hinggap dalam ingatan saya. FreekColombijn
pernah menuliskan sebuah artikel yang berjudul “TooootVrooom! The Urban Sounscapein Indonesia” tentang sounscapepada perkotaan di Indonesia.
Dari situlah ingatan saya akan kendaraan dan polusinya muncul kembali. Pertama
kali yang muncul salam ingatan saya saat mendiskusikan tema ini di kelas adalah
keadaan parkiran sebuah bandara khususnya Bandara Juanda Surabaya. Saat itu
saya masih berusia sekitar lima atau enam tahun. Ketika keluar dari mobil rasa
panas dari mesin berbagai kendaraan yang terparkir langsung menyambut. Ditambah
dengan asap pembakaran solar, membuat parkiran ini semakin bertambah panas.
Meskipun parkiran ini berada di luar ruangan tapi rasa panas tetap begitu
terasa. Salah satu hal yang juga memperparah keadaan ini adalah letak bandara
yang tidak jauh dari laut.Kenangan akan bau solar sisa pembakaran kendara terus
teringat dalam memori saya hingga saat ini. Panas dan wangi yang tajam hingga
menusuk hidung membuat saya langsung pusing serta mual. Oleh karenanya ketika
saya berada di parkiran dengan berbagai bau sisa pembakaran tidak jarang
langsung membuat saya sebal.
Saat ini saya lebih sering berjumpa dengan sisa
pembakaran solar saat berada di rumah makan. Setiap kali saya pulang dan
berangkat ke Yogya menggunakan travel maka akan ada waktu untuk berhenti di
rumah makan. Ketika sampai di rumah makan biasanya sekitar pukul setengah satu
atau satu dini hari. Tubuh yang tadinya terlelap harus terbangun secara
mendadak, beradaptasi dengan parkiran yang panas karena sisa pembakaran
kendaraan. Keinginan untuk menyantap makanan hilang seketika, niat untuk turun
dan menghirup udara di luar kendaraan juga tidak ada. Namun, karena di dalam
kendaraan yang mesinnya mati akan terasa pengap dan itu bukanlah sebuah solusi
yang bagus. Sehingga mencari teh hangat untuk menetralkan rasa mual dan pusing
menjadi sebuah pilihan.
Akan tetapi respons yang berbeda akan muncul saat solar
tersebut menjadi sisa pembakaran dari mesin diesel pada penggilingan padi.
Entah itu hanya berasal dari mesin dieselnya atau karena karet pemutar yang
menjadi salah satu bagian dari seperangkat penggilangan padi. Bau panas karet
yang diputar untuk menggerakkan mesin merupakan aroma utama saat saya memasuki
area penggilingan padi yang baru saja dimatikan. Aroma solar yang ada tidak
sepekat dan sewangi aroma sisa pembakaran di parkiran-parkiran mobil. Aroma ini
bisa membuat candu tersendiri bagi saya, dominasi solar terkalahkan oleh bau
karet yang panas serta bau beras yang baru keluar dari mesin penggilingan.
Bau sisa pembakaran solar yang panas dan menyengat tidak
bisa dilepaskan dari kehidupan. Setiap hari kita akan bersinggungan dengan
berbagai macam kendaraan. Dari yang asap kendaraannya berwarna ataupun tidak
berwarna. Sisa pembakaran solar menunjukkan akan kehidupan manusia yang masih
terus berjalan. Dengan adanya kendaraan manusia terbantu dalam beraktivitas.
Mereka dapat berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain secara cepat –jika
tidak mengalami gangguan di jalan- dan terlindung dari berbagai cuaca yang ada.
Bau sisa pembakaran solar juga menunjukkan adanya seseorang yang sedang bekerja
untuk memenuhi kehidupannya. Kendaraan travel memerlukan seorang sopir untuk
dapat mengantarkan penumpangnya hingga sampai pada tujuan. Baik siang ataupun
malam dengan berbagai tantangan yang mereka temui di jalanan. Hal yang sama
juga terjadi pada usaha penggilingan padi. Solar menjadi salah satu komponen
utama saat penggilingan padi. Jika tidak ada solar maka para penggiling padi
tidak dapat melakukan pekerjaannya dan terhambatlah proses produksi beras. Oleh
karenanya sisa pembakaran solar menunjukkan bahwa manusia masih hidup.
Referensi
Colombijn, Freek.
2007. TooootVrooom! The Urban Sounscapein Indonesia. Sojourn, Jurnal of Southeast Asia, 22 (2), PP 255-273.
Komentar