Minoritas yang Rawan Konflik


Minoritas yang Rawan Konflik
 Tugas Akhir Semester Mata KuliahEtnografi Diaspora di Indonesia
Kelas Antropologi Budaya




Oleh
Immas Putri Agustin
14/363546/SA/17317




Jurusan Antropologi Budaya
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2016



Minoritas yang Rawan Konflik

Pendahuluan
Transmigrasi dan diaspora seolah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dimana pengertian satu sama lain masih sangat kabur akan perbedaannya. Berawal dari migrasi yang dilakukan oleh masyarakat dari suatu daerah ke daerah lain dengan jangka waktu yang lama atau singkat menjadi salah satu awal mula. Migrasi sendiri memiliki beberapa jenis seperti migrasi sirkuler, permanen dan transmigrasi. Sebagian besar migrasi dilakukan karena adanya motif ekonomi yang ingin dipenuhi oleh pelakunya. Sedangkan transmigrasi terjadi karena dorongan ekonomi serta adanya kepadatan penduduk pada suatu wilayah.
Sedangkan diaspora merupakan penyebaran atau gerak manusia yang terjadi karena beberapa hal seperti perang atau bencana alam sehingga mereka mencari penghidupan yang layak. Oleh karenanya mereka harus meninggalkan tanah etnis tradisional mereka. Pergerakan atau penyebaran ini merujuk pada bangsa atau etnis penduduk tertentu yang mana pada daerah tujuannya mereka juga melakukan penyebaran budaya yang dibawa. Diaspora ini cenderung terjadi dalam jangka waktu yang lama. Migrasi yang telah terjadi secara permanen dan dalam jangka waktu yang lama juga tidak menutup kemungkinan untuk menjadi diaspora. Diaspora sendiri bisa terjadi di dalam wilayah suatu negara atau melintasi batas negara.
Menurut Dino Patti Djalal dalam laman diasporaindonesia.org diaspora Indonesia terbagi menjadi empat kelompok yaitu kelompok pertama, warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri dengan masih memegang paspor Indonesia secara sah. Kelompok kedua, warga Indonesia yang telah menjadi warga negara asing karena proses naturalisasi dan tidak lagi memiliki paspor Indonesia. Kelompok ketiga ialah warga negara asing yang memiliki orang tua atau leluhur yang berasal dari Indonesia. Kelompok keempat, warga negara asing yang tidak memiliki ikatan leluhur dengan Indonesia sama sekali namun memiliki kecintaan yang luar biasa dengan Indonesia. Itulah empat golongan yang dapat dikatakan sebagai diaspora Indonesia.
Sedangkan diaspora lokal dapat terbangun karena adanya beberapa batasan diantaranya merupakan satuan atau kelompok entitas sosial tertentu, melakukan gerak penduduk yang dibatasi satuan administratif (kabupaten/provinsi atau bahkan negara), gerak penduduk didorong karena kejadian bencana sosial (konflik dan kemiskinan) atau bencana alam (banjir, tanah longsor dan kemiskinan), dan dari dimensi waktu, diaspora lokal dapat dikatakan sebagai gerak penduduk permanen atau membutuhkan waktu yang cukup lama (bahkan menetap) di daerah tujuan untuk dapat kembali ke daerah asal (Sofyan Sjaf). Hal itu tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada diaspora internasional. Hal yang mendasar terjadinya diaspora adalah adanya penyebaran kebudayaan yang dilakukan oleh si pembawa kebudayaan pada daerah tujuan dengan jangka waktu yang lama. Sehingga kebudayaan tersebut juga berkembang pada daerah baru yang ditempati.

Wilayah Persebaran
Diaspora lokal Bali tersebar di semua provinsi yang ada di Indonesia. Dengan beberapa wilayah yang cukup banyak masyarakat Bali. Persebaran masyarakat Bali sudah terjadi sejak masa kolonial. Salah satunya seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan, masyarakat Bali telah berpindah ke sana pada masa pemerintahan kolonial. Lima provinsi dengan persebaran masyarakat Bali paling tinggi adalah Sulawesi Tengah, Lampung, Sulawesi Tenggara, dan Sumatra Selatan.


Jumlah Persebaran Masyarakat Bali di Tiap Provinsi[1]
No
Provinsi
Jumlah
penduduk
No
Provinsi
Jumlah
penduduk
1
NTB
119407
17
Bengkulu
4323
2
Sulawesi Tengah
115812
18
Gorontalo
3702
3
Lampung
104810
19
DI Yogyakarta
3495
4
Sulawesi Tenggara
49411
20
Jawa Tengah
3487
5
Sumatera Selatan
38552
21
Papua
1958
6
Sulawesi Selatan
27330
22
Kalimantan Barat
1916
7
Jawa Barat
20832
23
Maluku
1616
8
JawaTimur
20363
24
Kepulauanriau
1315
9
DKI Jakarta
15181
25
Sumatera utara
1162
10
Sulawesi Barat
14657
26
Bangka Belitung
1113
11
Sulawesi utara
14347
27
Riau
1031
12
Kalimantan Selatan
11999
28
Papua Barat
893
13
Kalimantan Timur
8630
29
Jambi
464
14
Banten
8034
30
Maluku utara
245
15
Kalimantan Tengah
7362
31
Sumatera Barat
192
16
NTT
6567
32
Aceh
145

Kependudukan
Masyarakat Bali yang menjadi pendatang pada suatu daerah biasanya akan memiliki pekerjaan di bidang pertanian, perdagangan ataupun bidang-bidang sejenisnya. Seperti yang terjadi di Lampung, masyarakat Bali berada pada tataran pekerja pedagang atau menguasai jalur transportasi dan ekonomi hasil bumi. Dimana hal itu merupakan tataran paling bawah, yang mana mereka bersentuhan langsung dengan masyarakat dari berbagai latar belakang yang ada di lapangan. Pada umumnya masyarakat pendatang tidak begitu dominan dalam menguasai kekuasaan terutama dalam hal politik. Jikalau pun ada yang berhasil memiliki kekuasaan politik mereka sangatlah sedikit.
Secara nasional masyarakat suku Bali berjumlah 3.946.416 jiwa, yang mana 15 persennya menyebar di seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Pada era Orde Baru orang-orang yang berada di pemerintahan harus siap untuk berpindah ke daerah lain karena tugas yang dimilikinya. Begitu juga dengan orang-orang Bali, salah satu daerah yang banyak di pimpin oleh orang Bali adalah daerah Sumbawa. Pada saat itu kepala daerah baik provinsi, kabupaten, ataupun kecamatan akan pilih oleh pemerintah pusat. Maka dari itu sistem pemerintahannya dapat dikendalikan dan dipantau oleh pusat. Itulah salah satu hal yang menyebabkan masyarakat dapat menyebar ke berbagai daerah, tidak hanya Bali tetapi juga masyarakat Jawa.
Etnis Bali di Sulawesi juga dikenal sebagai petani yang ulung. Mereka mampu menjadi petani yang sukses meskipun tanah garapannya kurang begitu baik. Salah satu hal yang membuat mereka seperti itu adalah kebudayaan yang mereka miliki dari daerah asal. Sistem perairan yang begitu terkenal dari Bali juga mereka terapkan pada tanah rantau. Subak telah menjadi satu dari sekian kebudayaan yang mereka terapkan di daerah yang baru.

Ekonomi Diaspora
Sebagai masyarakat pendatang yang mendapat fasilitas dari pemerintah ataupun tidak masyarakat etnis Bali pada umumnya memiliki pekerjaan pada bidang perdagangan, pertanian ataupun distribusi. Perdagangan menjadi salah satu sektor yang banyak dijalankan oleh para pendatang, tidak hanya etnis Bali saja tetapi etnis lain seperti Jawa. Berdagang menjadi salah satu pilihan karena dengan adanya ruang pada tempat tinggalnya serta didukung dengan modal mereka telah dapat melakukan perdagangan. Selain itu biasanya pendatang banyak kita temui di pasar, karena di pasar terdapat peluang dan kesempatan untuk menjual berbagai barang. Berbeda dengan pertanian yang mana itu harus ada sebuah lahan untuk bercocok tanam.
Etnis Bali di Sulawesi Selatan sebagai salah satu kelompok masyarakat yang mendapatkan fasilitas dari pemerintah berupa lahan pertanian. Lahan tersebut dimanfaatkan untuk bercocok tanam, baik tanaman padi atau perkebunan cokelat. Mereka yang berpindah ke suatu daerah belum tentu akan memiliki lahan yang cukup untuk bertani. Menjadi pelaku distribusi juga menjadi pilihan tersendiri untuk para pendatang terutama distribusi bidang pertanian seperti yang dilakukan oleh masyarakat etnis Bali di Lampung. Dengan itu mereka dapat mendatangi petani untuk membeli hasil bumi yang ada selanjutnya di bawa ke pasar atau pedagang untuk di jual lagi pada konsumen.
Dengan mata pencaharian seperti di atas maka dapat dikatakan jika etnis Bali di daerah yang mereka datangi tidak begitu mendominasi. Namun dengan semangat untuk bekerja keras, pantang menyerah dan usaha mereka untuk dapat bertahan di daerah yang baru telah melahirkan etnis Bali yang unggul. Mereka dapat bersaing bersama dengan pendatang dari etnis lain. Keberhasilan dari usaha tersebut terlihat dari usaha yang mereka miliki yang terus berkembang menjadi besar serta perekonomian keluarga yang tercukupi. Tidak sedikit dari orang-orang pendatang tersebut yang berhasil dalam menyekolahkan anak-anaknya hingga bangku perguruan tinggi. Dalam perdagangan usaha mereka juga kian berkembang dengan kepemilikan toko secara pribadi. Dalam pertanian mereka juga telah mampu memperbaiki kualitas kehidupannya melalui tempat tinggal yang telah dimiliki secara permanen.

Pengelompokan
Sebagai etnis yang baru pada suatu wilayah etnis Bali tinggal secara mengelompok dengan mereka orang-orang Bali juga. Seperti yang terlihat pada etnis Bali di Lampung, mereka memiliki sebuah perkampungan yang kemudian menjadi sebuah desa yang bernama Balinuraga terletak di kecamatan Way Panji, Kabupaten Lampung Selatan. Akan sangat wajar jika kelompok pendatang ini mengisolasi dirinya dari kelompok lain pada beberapa hal. Meskipun secara umum mereka tidak menolak untuk berinteraksi dengan kelompok etnis yang lain. Isolasi yang dimaksud sini lebih kepada hubungan kepercayaan. Sebagai pendatang yang baru mereka pastinya masih belum begitu memiliki kepercayaan dengan kelompok lain. Sehingga orang Bali akan lebih menaruh kepercayaan pada mereka sesama orang Bali. Hal ini seperti pada pinjam meminjam, baik meminjam uang, barang ataupun yang lain. Mereka akan lebih percaya meminjamkannya pada sesama orang Bali yang mana mereka telah mengetahui karakter dan sifat-sifatnya.
Pengelompokan etnis pendatang Bali juga terjadi di Sulawesi. Salah satunya di Desa Buraga, Kecamatan Ambipapo, Kabupaten ParigiMoutong, Sulawesi Tengah. Lingkungan tempat tinggal etnis Bali di sana terasa sangat kental dari gaya bangunan yang ada. Sanggah-sanggah atau tempat beribadah umat Hindu terdapat di depan rumah warga. Selain itu identitas ke-Bali-an juga terlihat dari adanya pelangkiran serta simbol yang lain. Sanggah itu berupa pura kecil yang terdapat di alam rumah depan ataupun belakang. Sedangkan pelangkiran di tempel pada tembok rumah. Selain itu juga ada sebuah pura Agung yang biasa digunakan untuk beribadah bersama, terlebih pada saat perayaan hari raya Hindu. Di Sulawesi Tengah juga terdapat kampung Bali yang bernama Gantinadi. Di kampung tersebut hidup masyarakat etnis Bali yang telah tinggal di sana sejak tahun 1970-an melalui program transmigrasi dari pemerintah. Mereka hidup bersama dengan orang-orang Bali yang lainnya pada suatu wilayah tertentu. Dengan kemampuan bertani yang ulet mereka akhirnya berhasil mandiri. Melalui kegiatan bertani dan berkebun cokelat serta kelapa sebagai penopang kehidupan sehari-hari.

Isu-Isu Lokal
Etnis Bali di tanah perantauan tidak lepas dari berbagai isu permasalahan yang ada. Dua isu konflik pernah muncul dan menyita perhatian publik. Konflik antara etnis Bali dengan penduduk lokal di Lampung, yakni antara desa Balinuraga dan desa Agom. Konflik dipicu oleh isu pelecehan seksual pada dua gadis dari desa Agom menjadi konflik yang meluas hingga memakan korban jiwa. Warga desa Agom yang merasa tidak terima karena adanya pelecehan tersebut akhirnya menyerang desa Balinuraga. Beberapa rumah dan tempat ibadah di desa Balinuraga juga dibakar oleh masa sehingga warga di desa tersebut terpaksa mengungsi. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak, jumlah korban secara pasti tidak jelas ada yang menyebut puluhan ada pula yang menyebut  ratusan.
Satu konflik lain yang terjadi antara etnis Bali dengan penduduk lokal terjadi di Sumbawa Besar. Konflik ini dipicu oleh adanya dua orang yang sedang menjalin hubungan, dimana sang pria yang berasal dari Bali dan perempuan merupakan penduduk lokal. Kebetulan mereka mengalami kecelakaan dan si perempuan meninggal di lokasi. Setelah kecelakaan tersebut beredar berbagai rumor mengenai sepasang kekasih tersebut, salah satu rumornya mengenai perempuan tersebut sengaja dibunuh setelah diperkosa oleh sang laki-laki. Rumor itu semakin menyebar luas melalui media sosial sehingga membuat masyarakat panas. Serta tidak mampu mengendalikan diri sehingga mereka mengadili masyarakat Bali secara luas yang ada di sana dengan caranya sendiri.
Konflik di Sumbawa mengingatkan pada kejadian di tahun 1980. Pada saat itu terjadi kerusuhan antara pemuda Sumbawa dan pemuda Bali. Terdapat dua isu yang menyeruak di masyarakat mengenai isu pemicu konflik pada saat itu. Isu pertama ada yang menyebutkan bahwa konflik tersebut terjadi karena banyaknya pemuda Bali yang melakukan kawin lari dengan gadis etnis Semara. Isu yang lain adalah ditemukannya bungkusan yang berisi daging babi di masjid, yang mana itu akan dengan mudah mengaitkannya dengan orang Bali.
Pada umumnya kekerasan yang terjadi tersebut berawal dari politik. Konflik yang terjadi di Sumbawa pada tahun 1980 tidak lepas dari politik yang terjadi di sana pada saat itu. Konflik tersebut merupakan akibat dari pertarungan untuk menjadi bupati. Padahal saat itu pemerintahan masih sangat terpusat sehingga segala jenis protes dan unjuk rasa dilarang. Begitu pun dengan yang terjadi di Lampung pada tahun 2010. Pada tahun Lampung sedang menggelar pemilihan kepala daerah. Salah satu bupati yang terpilih sangat kontroversial mengenai kebijakan untuk membangun patung salah satu mantan gubernur Lampung pada Orde Baru. Mantan gubernur tersebut tidak lain adalah kakek dari sang bupati. Karena pembangunan tersebut menggunakan dana APBD maka menyulut kemarahan rakyat. Setelah tiga bulan berdiri patung tersebut akhirnya di robohkan oleh warga.
Pada 2012 warga kembali melakukan demo terhadap bupati karena dianggap telah menghina tokoh adat. Demo tersebut berhasil memaksa bupati meminta maaf kepada tokoh adat. Situasi sosial politik yang panas inilah melatarbelakangi konflik yang terjadi pada November 2012 antara penduduk lokal dengan penduduk Bali pendatang. Konflik yang terjadi di Sumbawa juga tidak lepas dari politik lokal yang sedang terjadi. Seperti adanya isu penolakan tambang PT Newmont, kasus tanah hingga isu pulau Sumbawa yang ingin lepas dari NTB karena dianggap didominasi orang-orang sasak. Kejadian-kejadian seperti itulah yang menjadi awal dari konflik komunal.
Jumlah etnis Bali yang berada di tanah rantau sebenarnya tidaklah banyak jika dibandingkan dengan etnis lain yang ada di wilayah tersebut. Secara nasional etnis Bali hanya 1,67 persen dari keseluruhan jumlah penduduk yang ada di Indonesia. Dengan masyarakat yang berada di tanah rantau sebanyak 15 persennya. Kekerasan komunal tidak pernah jauh dari isu putra daerah melawan pendatang. Namun, siapa sesungguhnya yang dimaksud sebagai pendatang, karena mereka yang dikategorikan sebagai pendatang sebenarnya lahir dan besar di tanah rantau itu juga. Banyak dari mereka yang telah tidak bisa berbahasa etnis aslinya yang mungkin saja mereka telah mengikuti budaya tempat ia tinggal saat dilahirkan. Akan tetapi mereka tetap dimasukkan sebagai pendatang.
Hal itu pula yang terjadi di Lampung dan Sumbawa, permasalahan mengenai pendatang juga muncul di permukaan. Umumnya sasaran dari kerusuhan ini adalah etnis minoritas yang telah lebih dulu memiliki bingkai prasangka. Kebanyakan perantau memiliki etos kerja yang bagus sehingga mereka dapat berhasil dan sukses. Maka dari itu tidak sedikit dari penduduk lokal yang merasa iri dan tidak suka. Disatu sisi ketiadaan akses untuk ikut berpartisipasi dalam politik lokal juga menjadi salah satu alasan kenapa suatu etnis itu lemah atau tidak memiliki perlindungan. Akses etnis Bali untuk dapat bergabung dengan politik lokal seolah tertutup ataupun mereka tidak memiliki keinginan untuk terjun ke politik lokal itu. Karena tidak adanya akses politik itu mereka mudah untuk dijadikan sasaran kekesalan di tingkat bawah.
Pada kerusuhan yang terjadi di Sumbawa tahun 1980 terdapat kemungkinan yang juga dipicu oleh kecemburuan sosial. Hal itu terkait banyaknya orang Bali yang menduduki jabatan penting di pemerintahan. Pada kenyataannya orang Bali ini diperintahkan oleh pemerintah pusat. Sebenarnya alasan seperti ini tidaklah tepat karena banyak etnis lain yang juga menduduki posisi penting di masa Orde Baru. Umumnya yang menjadi sasaran dari konflik adalah etnis minoritas yang tidak memiliki perlindungan politik. Sehingga tidak jarang kita masih sering melihat korban harus menanggung beban yang paling berat. Dan sering kali kerusuhan berakhir dengan damai tanpa adanya keadilan atas jiwa yang hilang.
Disadari atau tidak dengan adanya kerusuhan atau konflik tersebut terciptalah kekuatan pada internal kelompok masyarakat Bali di tanah rantau. Dengan adanya kekuatan pada kelompok tersebut memudahkan para elit untuk mengontrol kelompok-kelompok etnisnya. Sebuah kekerasan tidaklah dilakukan secara spontan. Pasti telah diperhitungkan kekuatan, target, serta kapan waktu untuk melakukan eksekusi. Orang Bali mudah untuk dijadikan sasaran di tanah rantau bukan karena kecemburuan masyarakat lokal akan tetapi mereka menjadi sasaran karena paling lemah dan tidak memiliki perlindungan dalam konteks politik lokal setempat.

Ikatan Daerah Asal
Ikatan masyarakat Bali dengan daerah asalnya masih cukup kuat jika dilihat dari budaya yang mereka terapkan di lokasi rantau. Hal itu sangat terlihat pada etnis Bali di Sulawesi. Masyarakat Bali di sana berusaha membangun pemukiman yang sedemikian rupa sehingga itu tidak jauh berbeda dengan daerah lama mereka di Bali sendiri. Tempat peribadatan yang dibangun di sekitar rumah dengan perlengkapan lainnya yang tidak ketinggalan juga. Orang-orang dari etnis Bali itu sendiri juga mengelompok pada satu daerah tertentu.
Salah satu ikatan yang sangat kuat bagi etnis Bali adalah agama yaitu agama Hindu Bali. Melalui agama itu etnis Bali yang berada di tanah rantau akan terus memiliki ikatan satu dengan yang lain. Hal itu terwujud dalam berbagai kegiatan keagamaan yang mereka lakukan. Minimal pada perayaan hari raya Hindu, mereka akan berkumpul bersama di tempat peribadatan untuk melakukan sembahyang bersama. Dengan berkumpul bersama itulah kecintaan dan rasa kedaerahan mereka akan tetap ada. Jika mereka ditanya untuk kembali ke Bali maka tidak sedikit untuk menolaknya. Salah satu alasannya adalah kenyamanan dan pekerjaan mereka yang telah ada serta mapan di tanah rantau. Kalau mereka kembali ke Bali maka mereka harus memulai kembali kehidupannya dari awal di Bali. Padahal di Bali sendiri mereka merasa telah susah untuk mencari pekerjaan untuk kehidupan mereka. Terlebih dengan semakin banyaknya pendatang di pulau Bali.

Dampak Adanya Diaspora
Dengan 15 persen penduduk etnis Bali yang tinggal di luar pulau Bali tentulah tidak begitu menonjol kontribusi yang diberikan pada daerah asalnya. Tetapi tetap ada diaspora yang peduli dengan daerah asalnya. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh diaspora Bali di luar negeri, mereka melakukan kritik terhadap adanya isu reklamasi di teluk Benoa. Menurut mereka pulau buatan tersebut pada akhirnya hanya dapat dinikmati oleh kelompok tertentu. Sedangkan mereka yang masyarakat asli (Bali) tidak dapat menikmatinya.
Bali yang terkenal dengan pariwisatanya telah banyak mendatangkan wisatawan lokal ataupun mancanegara. Untuk mencukupi permintaan pada pariwisata tersebut telah banyak menarik pekerja-pekerja, baik dari Indonesia ataupun asing. Sehingga di pulau Bali sendiri braingain lebih terasa. Braingainitu dapat berasal dari orang-orang etnis lain yang ada di Indonesia. Mereka merupakan orang-orang yang ahli pada bidangnya –terutama pariwisata- untuk menggerakkan perekonomian yang ada di Bali. Perekonomian Bali yang sebagian besar bertumpu pada sektor pariwisata membutuhkan orang-orang yang memiliki keahlian. Guna mencukupi kebutuhan tersebut, banyak usaha yang menarik pekerja dari luar Bali.

Kesimpulan
Diaspora dapat terjadi pada sebuah suku bangsa yang ada. Perbedaan yang mendasar antara diaspora dan migrasi atau transmigrasi terletak pada faktor pendorong perpindahannya. Pada diaspora masyarakat berpindah karena keterpaksaan guna mencari penghidupan yang lebih baik. Pekerjaan yang mereka dapatkan di tanah rantau tidaklah langsung didapat secara mulus. Diperlukan sebuah perjuangan dan kerja keras untuk dapat mempertahankan kehidupan mereka di daerah yang baru. Kesuksesan dan keberhasilan yang dicapai oleh pendatang tidak jarang menimbulkan kecemburuan sosial pada penduduk lokal. Sehingga masyarakat pendatang ini sangat rawan untuk menjadi sasaran kekerasan. Terlebih mereka tidak memiliki posisi dalam politik lokal yang mampu untuk melindungi mereka. Dampak dari diaspora tidak dapat dipisahkan yaitu braindraindanbraingain. Dapat dilihat jika di (pulau) Bali memiliki potensi wisata yang sangat banyak sehingga tidak menutup kemungkinan akan adanya braingain-braingainguna memenuhi permintaan pada sektor pariwisata yang ada. Terlepas dari adanya braindraindanbraingain, dampak dari diaspora ini sangatlah positif untuk pengembangan berbagai bidang.


Daftar Pustaka
Ardiansyah, Syaifuddin Iskandar. 2010. Konflik Etnis Samawa dengan Etnis Bali: Tinjauan Sosial Politik dan Upaya Resolusi Konflik. 32(4), pp 286-292.
Na’im, Akhsan dan Hendry Syahputra. 2011. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa sehari-hari Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Sjaf, Sofyan. Migrasi Internal dan Diaspora Lokal:Prespektif untuk Memahami Pembentukan Identitas. Makalah sebagai bahan diskusi mingguan Mata Kuliah Dinamika Kependudukan.
Roth, Dik. 2011. The Subak in Diaspora: BalineseFarmersandtheSubaksin South Sulawesi. Human Ecology, 39(1), pp 55-68.

Sumber Online
Anonim. [Online] http://www.diasporaindonesia.org/index.php/about/diaspora.Diakses pada 11 Desember 2016 pukul 17.56.
Dhave, Dhanang. (2015, Juli 24). Gantinadi, Kampung Bali di Tengah Seulawe. [Online] http://www.kompasiana.com/dhave/gantinadi-kampung-bali-di-tengah-sulawesi_55b1a903d67e614e0699f6c2. Diakses pada 11 Desember 2016 pukul 18.22.
Majalah hindu Raditya. (2013, Maret 19) Tragedi Etnis Bali di Sumbawa: Penegakan Hukum Lemah dan Kecemburuan Ekonomi. [Online] http://majalahhinduraditya.blogspot.co.id/2013/03/tragedi-etnis-bali-di-sumbawa-penegakan.html. Diakses pada 12 Desember 2016 pukul 10.46.
Maskur, Fatkhul. (2014, April 22). Sekaa Diaspora Bali: Reklamasi Teluk Benoa Ciptakan Kebanggaan Semu. [Online] http://kabar24.bisnis.com/read/20140422/78/221261/sekaa-diaspora-bali-reklamasi-teluk-benoa-ciptakan-kebanggaan-semu. Diakses pada 11 Desember 2016 pukul 17.53.
Muhajir, Anton. (2014, Juni 04). Menyambangi Komunitas Bali di Buranga. [Online] http://indonesiana.tempo.co/read/16572/2014/06/04/antonemus/menyambangi-komunitas-bali-di-buranga. Diakses pada 11 Desember 2016 pukul 15.23.
Noor, Firman. (2012, November 04). Kompleksitas Konflik Lampung. [Online] http://nasional.kompas.com/read/2012/11/04/08580419/Kompleksitas.Konflik.Lampung. Diakses pada 11 Desember 2016 pukul 16.44.
Permana, Yogi Setya. (2013, Februari 13) Rusuh Sumbawa dan Peran Lembaga Adat. [Online] http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/politik-lokal/783-rusuh-sumbawa-dan-peran-lembaga-adat. Diakses pada 12 Desember 2016 pukul 10.23.
Prathap, Madeadiwisnu. (2012, November 01). Kronologi Tragedi Balinuraga di Lampung. [Online] http://pratapberkata.blogspot.co.id/2012/11/kronologi-tragedi-balinuraga-di-lampung.html. Diakses pada 11 Desember 2016 pukul 17.53.
Rosarians, Fransisco. (2012, November 04). Warga Bali Minta Maaf, Konflik di Lampung Mereda. [Online] http://nasional.tempo.co/read/news/2012/11/04/058439647/warga-bali-minta-maaf-konflik-di-lampung-mereda. Diakses pada 11 Desember 2016 pukul 15.42.
Setia, Putu. (2011, Desember 06). Tragedi Umat Hindu dalam Konflik Poso. [Online] http://www.oocities.org/hinduraditya/jurnalistik/kol-4.htmyang lebbih dulu dipublikasikan pada koran Tempo. Diakses pada 12 Desember 2016 pukul 11.32
Supriatma, Made. (2013, Januari 28). Menelisik Sentimen Anti-Bali di Perantauan. [Online] http://balebengong.net/kabar-anyar/2013/01/28/menelisik-sentimen-anti-bali-di-perantauan.html. Diakses pada 12 Desember 2016 pukul 11.16.
Taslim, Reny S. A. 2009. Kampung Bali di ParigiMoutong. [Online] https://posocity.wordpress.com/2009/08/18/kampung-bali-di-parigi-moutong/yang lebih dulu dipublikasikan di kompas. Diakses pada 12 Desember 2016 pukul 15.20.
Wayans. (2010, September 25). Jalan-Jalan Ke Desa Transmigran. [Online] http://wayahan.blogspot.co.id/2010/09/jalan-jalan-ke-desa-transmigran.html. Diakses pada 11 Desember 2016 pukul 19.42.
Jaya, Tri Purna. (2012, Oktober 30). Warga Trauma dengan Konflik di Lampung Selatan. [Online] http://news.okezone.com/read/2012/10/30/340/711361/warga-trauma-dengan-konflik-di-lampung-selatan. Diakses pada 11 Desember 2016 pukul 20.48.



[1]Sumber : Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Formalis dan Substantif dalam Antropologi Ekonomi

Analisis Tema, Alur, dan Karakter Dalam Novel Perahu Kertas