Minoritas yang Rawan Konflik
Minoritas yang Rawan Konflik
Tugas Akhir Semester Mata KuliahEtnografi Diaspora di Indonesia
Kelas Antropologi Budaya
Oleh
Immas Putri
Agustin
14/363546/SA/17317
Jurusan Antropologi Budaya
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2016
Minoritas yang Rawan Konflik
Pendahuluan
Transmigrasi dan diaspora seolah menjadi satu kesatuan
yang tidak terpisahkan. Dimana pengertian satu sama lain masih sangat kabur
akan perbedaannya. Berawal dari migrasi yang dilakukan oleh masyarakat dari
suatu daerah ke daerah lain dengan jangka waktu yang lama atau singkat menjadi
salah satu awal mula. Migrasi sendiri memiliki beberapa jenis seperti migrasi
sirkuler, permanen dan transmigrasi. Sebagian besar migrasi dilakukan karena
adanya motif ekonomi yang ingin dipenuhi oleh pelakunya. Sedangkan transmigrasi
terjadi karena dorongan ekonomi serta adanya kepadatan penduduk pada suatu
wilayah.
Sedangkan diaspora merupakan penyebaran atau gerak
manusia yang terjadi karena beberapa hal seperti perang atau bencana alam
sehingga mereka mencari penghidupan yang layak. Oleh karenanya mereka harus
meninggalkan tanah etnis tradisional mereka. Pergerakan atau penyebaran ini
merujuk pada bangsa atau etnis penduduk tertentu yang mana pada daerah
tujuannya mereka juga melakukan penyebaran budaya yang dibawa. Diaspora ini
cenderung terjadi dalam jangka waktu yang lama. Migrasi yang telah terjadi
secara permanen dan dalam jangka waktu yang lama juga tidak menutup kemungkinan
untuk menjadi diaspora. Diaspora sendiri bisa terjadi di dalam wilayah suatu
negara atau melintasi batas negara.
Menurut Dino Patti Djalal dalam laman
diasporaindonesia.org diaspora Indonesia terbagi menjadi empat kelompok yaitu
kelompok pertama, warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri dengan masih
memegang paspor Indonesia secara sah. Kelompok kedua, warga Indonesia yang
telah menjadi warga negara asing karena proses naturalisasi dan tidak lagi
memiliki paspor Indonesia. Kelompok ketiga ialah warga negara asing yang
memiliki orang tua atau leluhur yang berasal dari Indonesia. Kelompok keempat,
warga negara asing yang tidak memiliki ikatan leluhur dengan Indonesia sama
sekali namun memiliki kecintaan yang luar biasa dengan Indonesia. Itulah empat
golongan yang dapat dikatakan sebagai diaspora Indonesia.
Sedangkan diaspora lokal dapat terbangun karena adanya
beberapa batasan diantaranya merupakan satuan atau kelompok entitas sosial
tertentu, melakukan gerak penduduk yang dibatasi satuan administratif
(kabupaten/provinsi atau bahkan negara), gerak penduduk didorong karena
kejadian bencana sosial (konflik dan kemiskinan) atau bencana alam (banjir,
tanah longsor dan kemiskinan), dan dari dimensi waktu, diaspora lokal dapat
dikatakan sebagai gerak penduduk permanen atau membutuhkan waktu yang cukup lama
(bahkan menetap) di daerah tujuan untuk dapat kembali ke daerah asal (Sofyan
Sjaf). Hal itu tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada diaspora
internasional. Hal yang mendasar terjadinya diaspora adalah adanya penyebaran
kebudayaan yang dilakukan oleh si pembawa kebudayaan pada daerah tujuan dengan
jangka waktu yang lama. Sehingga kebudayaan tersebut juga berkembang pada
daerah baru yang ditempati.
Wilayah
Persebaran
Diaspora lokal Bali tersebar di semua provinsi yang ada
di Indonesia. Dengan beberapa wilayah yang cukup banyak masyarakat Bali.
Persebaran masyarakat Bali sudah terjadi sejak masa kolonial. Salah satunya
seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan, masyarakat Bali telah berpindah ke
sana pada masa pemerintahan kolonial. Lima provinsi dengan persebaran
masyarakat Bali paling tinggi adalah Sulawesi Tengah, Lampung, Sulawesi
Tenggara, dan Sumatra Selatan.
Jumlah Persebaran Masyarakat Bali di Tiap Provinsi[1]
No
|
Provinsi
|
Jumlah
penduduk
|
No
|
Provinsi
|
Jumlah
penduduk
|
1
|
NTB
|
119407
|
17
|
Bengkulu
|
4323
|
2
|
Sulawesi Tengah
|
115812
|
18
|
Gorontalo
|
3702
|
3
|
Lampung
|
104810
|
19
|
DI Yogyakarta
|
3495
|
4
|
Sulawesi Tenggara
|
49411
|
20
|
Jawa Tengah
|
3487
|
5
|
Sumatera Selatan
|
38552
|
21
|
Papua
|
1958
|
6
|
Sulawesi Selatan
|
27330
|
22
|
Kalimantan Barat
|
1916
|
7
|
Jawa Barat
|
20832
|
23
|
Maluku
|
1616
|
8
|
JawaTimur
|
20363
|
24
|
Kepulauanriau
|
1315
|
9
|
DKI Jakarta
|
15181
|
25
|
Sumatera utara
|
1162
|
10
|
Sulawesi Barat
|
14657
|
26
|
Bangka Belitung
|
1113
|
11
|
Sulawesi utara
|
14347
|
27
|
Riau
|
1031
|
12
|
Kalimantan Selatan
|
11999
|
28
|
Papua Barat
|
893
|
13
|
Kalimantan Timur
|
8630
|
29
|
Jambi
|
464
|
14
|
Banten
|
8034
|
30
|
Maluku utara
|
245
|
15
|
Kalimantan Tengah
|
7362
|
31
|
Sumatera Barat
|
192
|
16
|
NTT
|
6567
|
32
|
Aceh
|
145
|
Kependudukan
Masyarakat Bali yang menjadi pendatang pada suatu daerah
biasanya akan memiliki pekerjaan di bidang pertanian, perdagangan ataupun
bidang-bidang sejenisnya. Seperti yang terjadi di Lampung, masyarakat Bali
berada pada tataran pekerja pedagang atau menguasai jalur transportasi dan
ekonomi hasil bumi. Dimana hal itu merupakan tataran paling bawah, yang mana
mereka bersentuhan langsung dengan masyarakat dari berbagai latar belakang yang
ada di lapangan. Pada umumnya masyarakat pendatang tidak begitu dominan dalam
menguasai kekuasaan terutama dalam hal politik. Jikalau pun ada yang berhasil
memiliki kekuasaan politik mereka sangatlah sedikit.
Secara nasional masyarakat suku Bali berjumlah 3.946.416
jiwa, yang mana 15 persennya menyebar di seluruh provinsi yang ada di
Indonesia. Pada era Orde Baru orang-orang yang berada di pemerintahan harus
siap untuk berpindah ke daerah lain karena tugas yang dimilikinya. Begitu juga
dengan orang-orang Bali, salah satu daerah yang banyak di pimpin oleh orang
Bali adalah daerah Sumbawa. Pada saat itu kepala daerah baik provinsi,
kabupaten, ataupun kecamatan akan pilih oleh pemerintah pusat. Maka dari itu
sistem pemerintahannya dapat dikendalikan dan dipantau oleh pusat. Itulah salah
satu hal yang menyebabkan masyarakat dapat menyebar ke berbagai daerah, tidak
hanya Bali tetapi juga masyarakat Jawa.
Etnis Bali di Sulawesi juga dikenal sebagai petani yang
ulung. Mereka mampu menjadi petani yang sukses meskipun tanah garapannya kurang
begitu baik. Salah satu hal yang membuat mereka seperti itu adalah kebudayaan
yang mereka miliki dari daerah asal. Sistem perairan yang begitu terkenal dari
Bali juga mereka terapkan pada tanah rantau. Subak telah menjadi satu dari
sekian kebudayaan yang mereka terapkan di daerah yang baru.
Ekonomi
Diaspora
Sebagai masyarakat pendatang yang mendapat fasilitas dari
pemerintah ataupun tidak masyarakat etnis Bali pada umumnya memiliki pekerjaan
pada bidang perdagangan, pertanian ataupun distribusi. Perdagangan menjadi
salah satu sektor yang banyak dijalankan oleh para pendatang, tidak hanya etnis
Bali saja tetapi etnis lain seperti Jawa. Berdagang menjadi salah satu pilihan
karena dengan adanya ruang pada tempat tinggalnya serta didukung dengan modal
mereka telah dapat melakukan perdagangan. Selain itu biasanya pendatang banyak
kita temui di pasar, karena di pasar terdapat peluang dan kesempatan untuk
menjual berbagai barang. Berbeda dengan pertanian yang mana itu harus ada
sebuah lahan untuk bercocok tanam.
Etnis Bali di Sulawesi Selatan sebagai salah satu
kelompok masyarakat yang mendapatkan fasilitas dari pemerintah berupa lahan
pertanian. Lahan tersebut dimanfaatkan untuk bercocok tanam, baik tanaman padi
atau perkebunan cokelat. Mereka yang berpindah ke suatu daerah belum tentu akan
memiliki lahan yang cukup untuk bertani. Menjadi pelaku distribusi juga menjadi
pilihan tersendiri untuk para pendatang terutama distribusi bidang pertanian
seperti yang dilakukan oleh masyarakat etnis Bali di Lampung. Dengan itu mereka
dapat mendatangi petani untuk membeli hasil bumi yang ada selanjutnya di bawa
ke pasar atau pedagang untuk di jual lagi pada konsumen.
Dengan mata pencaharian seperti di atas maka dapat
dikatakan jika etnis Bali di daerah yang mereka datangi tidak begitu
mendominasi. Namun dengan semangat untuk bekerja keras, pantang menyerah dan
usaha mereka untuk dapat bertahan di daerah yang baru telah melahirkan etnis
Bali yang unggul. Mereka dapat bersaing bersama dengan pendatang dari etnis
lain. Keberhasilan dari usaha tersebut terlihat dari usaha yang mereka miliki
yang terus berkembang menjadi besar serta perekonomian keluarga yang tercukupi.
Tidak sedikit dari orang-orang pendatang tersebut yang berhasil dalam
menyekolahkan anak-anaknya hingga bangku perguruan tinggi. Dalam perdagangan
usaha mereka juga kian berkembang dengan kepemilikan toko secara pribadi. Dalam
pertanian mereka juga telah mampu memperbaiki kualitas kehidupannya melalui
tempat tinggal yang telah dimiliki secara permanen.
Pengelompokan
Sebagai etnis yang baru pada suatu wilayah etnis Bali
tinggal secara mengelompok dengan mereka orang-orang Bali juga. Seperti yang
terlihat pada etnis Bali di Lampung, mereka memiliki sebuah perkampungan yang
kemudian menjadi sebuah desa yang bernama Balinuraga terletak di kecamatan Way
Panji, Kabupaten Lampung Selatan. Akan sangat wajar jika kelompok pendatang ini
mengisolasi dirinya dari kelompok lain pada beberapa hal. Meskipun secara umum
mereka tidak menolak untuk berinteraksi dengan kelompok etnis yang lain.
Isolasi yang dimaksud sini lebih kepada hubungan kepercayaan. Sebagai pendatang
yang baru mereka pastinya masih belum begitu memiliki kepercayaan dengan
kelompok lain. Sehingga orang Bali akan lebih menaruh kepercayaan pada mereka
sesama orang Bali. Hal ini seperti pada pinjam meminjam, baik meminjam uang,
barang ataupun yang lain. Mereka akan lebih percaya meminjamkannya pada sesama
orang Bali yang mana mereka telah mengetahui karakter dan sifat-sifatnya.
Pengelompokan etnis pendatang Bali juga terjadi di
Sulawesi. Salah satunya di Desa Buraga, Kecamatan Ambipapo, Kabupaten
ParigiMoutong, Sulawesi Tengah. Lingkungan tempat tinggal etnis Bali di sana
terasa sangat kental dari gaya bangunan yang ada. Sanggah-sanggah atau tempat
beribadah umat Hindu terdapat di depan rumah warga. Selain itu identitas
ke-Bali-an juga terlihat dari adanya pelangkiran serta simbol yang lain.
Sanggah itu berupa pura kecil yang terdapat di alam rumah depan ataupun
belakang. Sedangkan pelangkiran di tempel pada tembok rumah. Selain itu juga
ada sebuah pura Agung yang biasa digunakan untuk beribadah bersama, terlebih
pada saat perayaan hari raya Hindu. Di Sulawesi Tengah juga terdapat kampung
Bali yang bernama Gantinadi. Di kampung tersebut hidup masyarakat etnis Bali
yang telah tinggal di sana sejak tahun 1970-an melalui program transmigrasi
dari pemerintah. Mereka hidup bersama dengan orang-orang Bali yang lainnya pada
suatu wilayah tertentu. Dengan kemampuan bertani yang ulet mereka akhirnya
berhasil mandiri. Melalui kegiatan bertani dan berkebun cokelat serta kelapa
sebagai penopang kehidupan sehari-hari.
Isu-Isu Lokal
Etnis Bali di tanah perantauan tidak lepas dari berbagai
isu permasalahan yang ada. Dua isu konflik pernah muncul dan menyita perhatian
publik. Konflik antara etnis Bali dengan penduduk lokal di Lampung, yakni
antara desa Balinuraga dan desa Agom. Konflik dipicu oleh isu pelecehan seksual
pada dua gadis dari desa Agom menjadi konflik yang meluas hingga memakan korban
jiwa. Warga desa Agom yang merasa tidak terima karena adanya pelecehan tersebut
akhirnya menyerang desa Balinuraga. Beberapa rumah dan tempat ibadah di desa
Balinuraga juga dibakar oleh masa sehingga warga di desa tersebut terpaksa
mengungsi. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak, jumlah korban secara pasti
tidak jelas ada yang menyebut puluhan ada pula yang menyebut ratusan.
Satu konflik lain yang terjadi antara etnis Bali dengan
penduduk lokal terjadi di Sumbawa Besar. Konflik ini dipicu oleh adanya dua
orang yang sedang menjalin hubungan, dimana sang pria yang berasal dari Bali
dan perempuan merupakan penduduk lokal. Kebetulan mereka mengalami kecelakaan
dan si perempuan meninggal di lokasi. Setelah kecelakaan tersebut beredar
berbagai rumor mengenai sepasang kekasih tersebut, salah satu rumornya mengenai
perempuan tersebut sengaja dibunuh setelah diperkosa oleh sang laki-laki. Rumor
itu semakin menyebar luas melalui media sosial sehingga membuat masyarakat
panas. Serta tidak mampu mengendalikan diri sehingga mereka mengadili
masyarakat Bali secara luas yang ada di sana dengan caranya sendiri.
Konflik di Sumbawa mengingatkan pada kejadian di tahun
1980. Pada saat itu terjadi kerusuhan antara pemuda Sumbawa dan pemuda Bali.
Terdapat dua isu yang menyeruak di masyarakat mengenai isu pemicu konflik pada
saat itu. Isu pertama ada yang menyebutkan bahwa konflik tersebut terjadi
karena banyaknya pemuda Bali yang melakukan kawin lari dengan gadis etnis
Semara. Isu yang lain adalah ditemukannya bungkusan yang berisi daging babi di
masjid, yang mana itu akan dengan mudah mengaitkannya dengan orang Bali.
Pada umumnya kekerasan yang terjadi tersebut berawal dari
politik. Konflik yang terjadi di Sumbawa pada tahun 1980 tidak lepas dari
politik yang terjadi di sana pada saat itu. Konflik tersebut merupakan akibat
dari pertarungan untuk menjadi bupati. Padahal saat itu pemerintahan masih
sangat terpusat sehingga segala jenis protes dan unjuk rasa dilarang. Begitu
pun dengan yang terjadi di Lampung pada tahun 2010. Pada tahun Lampung sedang
menggelar pemilihan kepala daerah. Salah satu bupati yang terpilih sangat
kontroversial mengenai kebijakan untuk membangun patung salah satu mantan
gubernur Lampung pada Orde Baru. Mantan gubernur tersebut tidak lain adalah
kakek dari sang bupati. Karena pembangunan tersebut menggunakan dana APBD maka
menyulut kemarahan rakyat. Setelah tiga bulan berdiri patung tersebut akhirnya
di robohkan oleh warga.
Pada 2012 warga kembali melakukan demo terhadap bupati
karena dianggap telah menghina tokoh adat. Demo tersebut berhasil memaksa
bupati meminta maaf kepada tokoh adat. Situasi sosial politik yang panas inilah
melatarbelakangi konflik yang terjadi pada November 2012 antara penduduk lokal
dengan penduduk Bali pendatang. Konflik yang terjadi di Sumbawa juga tidak
lepas dari politik lokal yang sedang terjadi. Seperti adanya isu penolakan
tambang PT Newmont, kasus tanah hingga isu pulau Sumbawa yang ingin lepas dari
NTB karena dianggap didominasi orang-orang sasak. Kejadian-kejadian seperti
itulah yang menjadi awal dari konflik komunal.
Jumlah etnis Bali yang berada di tanah rantau sebenarnya
tidaklah banyak jika dibandingkan dengan etnis lain yang ada di wilayah
tersebut. Secara nasional etnis Bali hanya 1,67 persen dari keseluruhan jumlah
penduduk yang ada di Indonesia. Dengan masyarakat yang berada di tanah rantau
sebanyak 15 persennya. Kekerasan komunal tidak pernah jauh dari isu putra
daerah melawan pendatang. Namun, siapa sesungguhnya yang dimaksud sebagai
pendatang, karena mereka yang dikategorikan sebagai pendatang sebenarnya lahir
dan besar di tanah rantau itu juga. Banyak dari mereka yang telah tidak bisa
berbahasa etnis aslinya yang mungkin saja mereka telah mengikuti budaya tempat
ia tinggal saat dilahirkan. Akan tetapi mereka tetap dimasukkan sebagai
pendatang.
Hal itu pula yang terjadi di Lampung dan Sumbawa,
permasalahan mengenai pendatang juga muncul di permukaan. Umumnya sasaran dari
kerusuhan ini adalah etnis minoritas yang telah lebih dulu memiliki bingkai
prasangka. Kebanyakan perantau memiliki etos kerja yang bagus sehingga mereka
dapat berhasil dan sukses. Maka dari itu tidak sedikit dari penduduk lokal yang
merasa iri dan tidak suka. Disatu sisi ketiadaan akses untuk ikut
berpartisipasi dalam politik lokal juga menjadi salah satu alasan kenapa suatu
etnis itu lemah atau tidak memiliki perlindungan. Akses etnis Bali untuk dapat
bergabung dengan politik lokal seolah tertutup ataupun mereka tidak memiliki
keinginan untuk terjun ke politik lokal itu. Karena tidak adanya akses politik
itu mereka mudah untuk dijadikan sasaran kekesalan di tingkat bawah.
Pada kerusuhan yang terjadi di Sumbawa tahun 1980
terdapat kemungkinan yang juga dipicu oleh kecemburuan sosial. Hal itu terkait
banyaknya orang Bali yang menduduki jabatan penting di pemerintahan. Pada
kenyataannya orang Bali ini diperintahkan oleh pemerintah pusat. Sebenarnya
alasan seperti ini tidaklah tepat karena banyak etnis lain yang juga menduduki
posisi penting di masa Orde Baru. Umumnya yang menjadi sasaran dari konflik
adalah etnis minoritas yang tidak memiliki perlindungan politik. Sehingga tidak
jarang kita masih sering melihat korban harus menanggung beban yang paling
berat. Dan sering kali kerusuhan berakhir dengan damai tanpa adanya keadilan
atas jiwa yang hilang.
Disadari atau tidak dengan adanya kerusuhan atau konflik
tersebut terciptalah kekuatan pada internal kelompok masyarakat Bali di tanah
rantau. Dengan adanya kekuatan pada kelompok tersebut memudahkan para elit
untuk mengontrol kelompok-kelompok etnisnya. Sebuah kekerasan tidaklah
dilakukan secara spontan. Pasti telah diperhitungkan kekuatan, target, serta
kapan waktu untuk melakukan eksekusi. Orang Bali mudah untuk dijadikan sasaran
di tanah rantau bukan karena kecemburuan masyarakat lokal akan tetapi mereka
menjadi sasaran karena paling lemah dan tidak memiliki perlindungan dalam
konteks politik lokal setempat.
Ikatan Daerah
Asal
Ikatan masyarakat Bali dengan daerah asalnya masih cukup
kuat jika dilihat dari budaya yang mereka terapkan di lokasi rantau. Hal itu
sangat terlihat pada etnis Bali di Sulawesi. Masyarakat Bali di sana berusaha
membangun pemukiman yang sedemikian rupa sehingga itu tidak jauh berbeda dengan
daerah lama mereka di Bali sendiri. Tempat peribadatan yang dibangun di sekitar
rumah dengan perlengkapan lainnya yang tidak ketinggalan juga. Orang-orang dari
etnis Bali itu sendiri juga mengelompok pada satu daerah tertentu.
Salah satu ikatan yang sangat kuat bagi etnis Bali adalah
agama yaitu agama Hindu Bali. Melalui agama itu etnis Bali yang berada di tanah
rantau akan terus memiliki ikatan satu dengan yang lain. Hal itu terwujud dalam
berbagai kegiatan keagamaan yang mereka lakukan. Minimal pada perayaan hari
raya Hindu, mereka akan berkumpul bersama di tempat peribadatan untuk melakukan
sembahyang bersama. Dengan berkumpul bersama itulah kecintaan dan rasa
kedaerahan mereka akan tetap ada. Jika mereka ditanya untuk kembali ke Bali
maka tidak sedikit untuk menolaknya. Salah satu alasannya adalah kenyamanan dan
pekerjaan mereka yang telah ada serta mapan di tanah rantau. Kalau mereka
kembali ke Bali maka mereka harus memulai kembali kehidupannya dari awal di
Bali. Padahal di Bali sendiri mereka merasa telah susah untuk mencari pekerjaan
untuk kehidupan mereka. Terlebih dengan semakin banyaknya pendatang di pulau
Bali.
Dampak Adanya
Diaspora
Dengan 15 persen penduduk etnis Bali yang tinggal di luar
pulau Bali tentulah tidak begitu menonjol kontribusi yang diberikan pada daerah
asalnya. Tetapi tetap ada diaspora yang peduli dengan daerah asalnya. Salah
satunya seperti yang dilakukan oleh diaspora Bali di luar negeri, mereka
melakukan kritik terhadap adanya isu reklamasi di teluk Benoa. Menurut mereka
pulau buatan tersebut pada akhirnya hanya dapat dinikmati oleh kelompok
tertentu. Sedangkan mereka yang masyarakat asli (Bali) tidak dapat menikmatinya.
Bali yang terkenal dengan pariwisatanya telah banyak
mendatangkan wisatawan lokal ataupun mancanegara. Untuk mencukupi permintaan
pada pariwisata tersebut telah banyak menarik pekerja-pekerja, baik dari
Indonesia ataupun asing. Sehingga di pulau Bali sendiri braingain lebih terasa. Braingainitu
dapat berasal dari orang-orang etnis lain yang ada di Indonesia. Mereka
merupakan orang-orang yang ahli pada bidangnya –terutama pariwisata- untuk
menggerakkan perekonomian yang ada di Bali. Perekonomian Bali yang sebagian
besar bertumpu pada sektor pariwisata membutuhkan orang-orang yang memiliki
keahlian. Guna mencukupi kebutuhan tersebut, banyak usaha yang menarik pekerja
dari luar Bali.
Kesimpulan
Diaspora dapat terjadi pada sebuah suku bangsa yang ada.
Perbedaan yang mendasar antara diaspora dan migrasi atau transmigrasi terletak
pada faktor pendorong perpindahannya. Pada diaspora masyarakat berpindah karena
keterpaksaan guna mencari penghidupan yang lebih baik. Pekerjaan yang mereka
dapatkan di tanah rantau tidaklah langsung didapat secara mulus. Diperlukan
sebuah perjuangan dan kerja keras untuk dapat mempertahankan kehidupan mereka
di daerah yang baru. Kesuksesan dan keberhasilan yang dicapai oleh pendatang
tidak jarang menimbulkan kecemburuan sosial pada penduduk lokal. Sehingga
masyarakat pendatang ini sangat rawan untuk menjadi sasaran kekerasan. Terlebih
mereka tidak memiliki posisi dalam politik lokal yang mampu untuk melindungi
mereka. Dampak dari diaspora tidak dapat dipisahkan yaitu braindraindanbraingain.
Dapat dilihat jika di (pulau) Bali memiliki potensi wisata yang sangat banyak
sehingga tidak menutup kemungkinan akan adanya braingain-braingainguna memenuhi permintaan pada sektor pariwisata
yang ada. Terlepas dari adanya braindraindanbraingain, dampak dari diaspora ini
sangatlah positif untuk pengembangan berbagai bidang.
Daftar Pustaka
Ardiansyah, Syaifuddin Iskandar. 2010. Konflik Etnis Samawa dengan Etnis
Bali: Tinjauan Sosial Politik dan Upaya Resolusi Konflik. 32(4), pp 286-292.
Na’im, Akhsan dan Hendry Syahputra. 2011. Kewarganegaraan, Suku Bangsa,
Agama, dan Bahasa sehari-hari Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk 2010.
Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Sjaf, Sofyan. Migrasi Internal dan Diaspora Lokal:Prespektif
untuk Memahami Pembentukan Identitas. Makalah sebagai bahan diskusi mingguan
Mata Kuliah Dinamika Kependudukan.
Roth, Dik. 2011. The Subak in Diaspora: BalineseFarmersandtheSubaksin South
Sulawesi. Human Ecology, 39(1), pp
55-68.
Sumber Online
Anonim. [Online] http://www.diasporaindonesia.org/index.php/about/diaspora.Diakses
pada 11 Desember 2016 pukul 17.56.
Dhave, Dhanang. (2015, Juli 24). Gantinadi, Kampung Bali di Tengah Seulawe.
[Online] http://www.kompasiana.com/dhave/gantinadi-kampung-bali-di-tengah-sulawesi_55b1a903d67e614e0699f6c2.
Diakses pada 11 Desember 2016 pukul 18.22.
Majalah hindu Raditya. (2013, Maret 19) Tragedi Etnis Bali di Sumbawa:
Penegakan Hukum Lemah dan Kecemburuan Ekonomi. [Online] http://majalahhinduraditya.blogspot.co.id/2013/03/tragedi-etnis-bali-di-sumbawa-penegakan.html. Diakses pada 12
Desember 2016 pukul 10.46.
Maskur, Fatkhul. (2014, April 22). Sekaa Diaspora Bali: Reklamasi Teluk
Benoa Ciptakan Kebanggaan Semu. [Online] http://kabar24.bisnis.com/read/20140422/78/221261/sekaa-diaspora-bali-reklamasi-teluk-benoa-ciptakan-kebanggaan-semu.
Diakses pada 11 Desember 2016 pukul 17.53.
Muhajir, Anton. (2014, Juni 04). Menyambangi Komunitas Bali di Buranga.
[Online] http://indonesiana.tempo.co/read/16572/2014/06/04/antonemus/menyambangi-komunitas-bali-di-buranga.
Diakses pada 11 Desember 2016 pukul 15.23.
Noor, Firman. (2012, November 04). Kompleksitas Konflik Lampung. [Online] http://nasional.kompas.com/read/2012/11/04/08580419/Kompleksitas.Konflik.Lampung.
Diakses pada 11 Desember 2016 pukul 16.44.
Permana, Yogi Setya. (2013, Februari 13) Rusuh Sumbawa dan Peran Lembaga
Adat. [Online] http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/politik-lokal/783-rusuh-sumbawa-dan-peran-lembaga-adat.
Diakses pada 12 Desember 2016 pukul 10.23.
Prathap, Madeadiwisnu. (2012, November 01). Kronologi Tragedi Balinuraga di
Lampung. [Online] http://pratapberkata.blogspot.co.id/2012/11/kronologi-tragedi-balinuraga-di-lampung.html.
Diakses pada 11 Desember 2016 pukul 17.53.
Rosarians, Fransisco. (2012, November 04). Warga Bali Minta Maaf, Konflik
di Lampung Mereda. [Online] http://nasional.tempo.co/read/news/2012/11/04/058439647/warga-bali-minta-maaf-konflik-di-lampung-mereda.
Diakses pada 11 Desember 2016 pukul 15.42.
Setia, Putu. (2011, Desember 06). Tragedi Umat Hindu dalam Konflik Poso.
[Online] http://www.oocities.org/hinduraditya/jurnalistik/kol-4.htmyang lebbih dulu dipublikasikan pada koran
Tempo. Diakses pada 12 Desember 2016 pukul 11.32
Supriatma, Made. (2013, Januari 28). Menelisik Sentimen Anti-Bali di
Perantauan. [Online] http://balebengong.net/kabar-anyar/2013/01/28/menelisik-sentimen-anti-bali-di-perantauan.html.
Diakses pada 12 Desember 2016 pukul 11.16.
Taslim, Reny S. A. 2009. Kampung Bali di ParigiMoutong. [Online] https://posocity.wordpress.com/2009/08/18/kampung-bali-di-parigi-moutong/yang lebih dulu dipublikasikan di kompas.
Diakses pada 12 Desember 2016 pukul 15.20.
Wayans. (2010, September 25). Jalan-Jalan Ke Desa Transmigran. [Online] http://wayahan.blogspot.co.id/2010/09/jalan-jalan-ke-desa-transmigran.html.
Diakses pada 11 Desember 2016 pukul 19.42.
Jaya, Tri Purna. (2012, Oktober 30). Warga Trauma dengan
Konflik di Lampung Selatan. [Online] http://news.okezone.com/read/2012/10/30/340/711361/warga-trauma-dengan-konflik-di-lampung-selatan.
Diakses pada 11 Desember 2016 pukul 20.48.
[1]Sumber : Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan
Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010.
Komentar