Review Analysing The State’s Laws On Religious Education In Post-New Order Indonesia
Oleh : Immas Putri A
Penulis artikel : Mohamad Yusuf dan Carl Sterkens
Hukum
dan agama menjadi dua hal yang sangat penting untuk mengatur kehidupan
seseorang. Hukum menjadi pengatur kehidupan seseorang dengan negara atau
sesuatu yang dianggap resmi. Sedangkan agama menjadi pengatur kehidupan
seseorang yang bersifat pribadi antara dirinya dan Tuhan. Lalu bagaimana jika
negara mengatur agama seseorang melalui pendidikan? Hal itulah yang coba untuk
diteliti oleh Yusuf dan Sterkens khususnya pada negara Indonesia setelah
jatuhnya rezim Orde Baru.
Di
Indonesia terdapat sebuah UU yang mengatur tentang kegiatan agama seseorang
terutama di bangku pendidikan. Seorang peserta didik harus mendapatkan
pendidikan agama yang sesuai dengan agama yang dianutnya. Begitu juga dengan
tenaga pengajar juga harus sesuai dengan agama dan tradisi siswanya. Akan
tetapi negara Indonesia mengakui adanya enam agama resmi. Dimana peraturan yang
dibuat oleh pemerintah tersebut cenderung condong pada salah satu agama.
Sehingga terjadi ketimpangan pada agama yang lain.Sebagai contoh, jika ada anak
yang beragama Islam yang bersekolah pada lembaga Kristen atau Katolik maka anak
Islam tersebut berhak mendapat pendidikan Islam. Namun, jarang sekali atau
bahkan tidak ditemukan adanya siswa yang beragam Kristen atau Katolik yang
bersekolah di lembaga Islam. Jikalau pun ada, dan lembaga itu dituntut untuk
menyediakan tenaga pengajar agama selain Islam tidak menutup kemungkinan mereka
akan menolak.
Dengan
adanya peraturan tersebut terlihat jika pemerintah menerapkan adanya mono-religi.
Padahal itu bertentangan dengan budaya serta ideologi bangsa yang mengakui
adanya keberagaman. Peran parlemen yang seharusnya dapat menyampaikan aspirasi
masyarakat justru tidak dapat dirasakan. Dalam tulisan Yusuf dan Sterkens
ditunjukkan dengan tidak hadirnya anggota parlemen saat pengambilan keputusa.
Sehingga partai mayoritas Islam yang mendukung UU tersebut dapat dengan mudah
menetapkan UU tersebut. Suara minoritas yang seharusnya juga ikut didengar
dalam pengambilan keputusan menjadi tidak begitu diperhatikan dan seolah-olah
terabaikan.
Komentar