Tubuh Sebagai Media Identitas: Penciptaan Kembali Ronggeng Dalam Jaipong
Tubuh Sebagai Media Identitas:
Penciptaan Kembali Ronggeng
Dalam Jaipong
Tugas Akhir Semester Mata Kuliah Studi Tubuh, Nalar dan Masyarakat
Kelas Antropologi Budaya
Oleh
Immas Putri Agustin
(putri_immas@yahoo.com)
14/363546/SA/17317
Jurusan Antropologi Budaya
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2016
Pendahuluan
Tarian merupakan
salah satu kekayaan kesenian yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Setiap daerah
yang ada memiliki tarian khas masing-masing. Begitu pun dengan suku Sunda yang
terdapat di Provinsi Jawa Barat. Sunda memiliki beragam kesenian yang sangat
menarik, salah satunya adalah tarian. Tarian atau yang biasa dikenal juga
dengan seni tari merupakan sebuah seni yang memiliki keterikatan dengan
masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Terdapat beberapa tarian yang
sangat populer di masyarakat seperti Ronggeng, Ketuk Tilu dan Jaipong.
Dalam
perkembangannya Jaipong mulai dikenalsejak tahun 1970-1980-an.Pada awalnya tarian
ini merupakan sebuah tarian baru yang dikembangkan oleh
GugumGumbiraTirasonjaya. Tarian ini dikembangkan dari tari Ketuk Tilu. Menurut
Lalan Ramlan (2013), Jaipong merupakan generasi ketiga dari perkembangan seni
pertunjukan yang ada di Sunda. Pembaruan tarian Sunda pertama kali terjadi pada
tahun 1920-an oleh Rd. Sambas Wirakusumah[1]
yang menciptakan aliran tari Keurseus. Pada tahun 1950-an lahirlah
generasi ke dua yang dinamai dengan aliran tari Kreasi Baru, aliran ini diciptakan oleh Rd. TjetjeSomantri[2].
Jaipong ini tidak
tercipta secara cepat, namun melalui proses yang lama dan panjang. Dalam proses
penciptaannya sendiri Gugumterinspirasi dari Pancar/Menpo(pencak silat),
Ketuk Tilu, Topeng Banjel, danBajidoran.
Semua inspirasi tersebut merupakan kesenian yang tersebar di Jawa Barat. Pada
awalnya tari Jaipong diberi nama Ketuk
Tilu Perkembangan, akan tetapi mendapat respons yang keras dari seniman
tari tradisional. Sehingga mereka menyarankan untuk mengganti namanya agar
memiliki nama baru dan khas. Selain itu, latar belakang tempat tinggal Gugum
yang berasal dari perkotaan juga mempengaruhi tarian ini. Pada saat itu banyak
tarian-tarian dari luar yang berkembang dan digemari oleh anak-anak Bandung.
Hal itu pula yang membedakan antara Gugum dengan seniman-seniman pencipta tari
Sunda. Sehingga tari Jaipong ini banyak memiliki perbedaan dari tari Sunda
lama.
Jika dilihat dari
salah satu inspirasi terciptanya tarian ini maka dapat terlihat jika tari
Jaipong merupakan jenis tarian pergaulan yang ada di kalangan rakyat. Dimana
dalam menampilkannya dilakukan secara berpasang-pasangan antara penari
perempuan profesional (ronggeng) dan
penari partisipan (laki-laki/pria). Dalam membentuk dinamika irama pada tarian
Jaipong, Gugum mengidolakan gaya menari seorang ronggeng yang pada masa lalu dipandang rendah. Akan tetapi menurut
Gugumterdapat pesona tarian yang luar biasa. Dalam syair yang diciptakan oleh
AtangWarsita[3] yang menceritakan tentang
seorang Ronggeng menunjukkan bahwa
dalam tarian tersebut mencerminkan karakter dari perempuan Sunda
... penekanan pada kekuatan nilai estetika tari yang
dinamis dengan intensitas pergerakan yang tinggi sangat mencerminkan
karakteristik kaum perempuan Sunda (mojangPriangan) yang cantik,
menarik, ramah, anggun, gemulai, gesit, lincah, dan memiliki daya tarik yang
menawan (Ramlan 2013).
Dengan adanya karakteristik dari ronggeng yang ada -dulu-, Gugumterinspirasi untuk melahirkan
kembali ronggeng dalam sebuah
kesenian yang baru. Kesenian baru tersebut adalah tarian yang dinamai dengan
Jaipong.
Gambaran Tubuh
Menurut Anthony V. Shay(dalam Narawati 2004) pada
tesisnya yang berjudul The Function of
Dancein Human Society , terdapat enam kategori tari, yaitu 1) sebagai
sarana refleksi organisasi sosial; 2) sarana ekspresi sekuler dan ritual
keagamaan; 3) sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan; 4) ungkapan serta
kebebasan psikologis; 5) sebagai refleksi nilai-nilai estetis atau murni
sebagai aktivitas estetis; serta 6) sebagai refleksi kegiatan ekonomi. Jika
dilihat dari kategori tersebut tari Jaipong dapat dikategorikan sebagai sarana
refleksi organisasi sosial yaitu masyarakat Sunda yang terwakili oleh Gugum
untuk melakukan pembaruan dari tari-tarian Sunda yang dianggap tidak mengalami
perkembangan kembali setelah sekian lama.
Dari ide, inspirasi dan pandangan yang dimiliki oleh
Gugum, dia ingin mengungkapkan kebebasan psikologis penari Ronggeng. Jika pada masa lalu penari Ronggeng selalu mendapat citra yang negatif maka Gugum melihat
terdapat sebuah keindahan yang belum terungkapkandengan baik dalam kesenian
Sunda. Gugum miliki keinginan untuk dapat menampilkan secara langsung
karakter-karakter perempuan Sunda tanpa melalui analog seperti yang dilakukan
oleh Rd. TjetjeSomantri. Seperti pada tari ronggengyang
terdapat beberapa bentuk karakter perempuan Sunda seperti gesit, lincah,
memiliki daya erotis, cantik, gemulai, ramah, anggun serta kekuatan mojangPariangan.
Hal itulah yang ingin ditampilkan oleh Gugum dalam tari
Jaipong. Meskipun pada awal kemunculannya Jaipong mendapat respons yang kurang
baik dari masyarakat. Akan tetapi saat ini tari Jaipong menjadi tari yang
sangat populer di Jawa Barat. Melihat dari sambutan yang telah positif tersebut
maka penulis ingin melihat pemaknaan tubuh dalam tari Jaipong sebagai salah
satu bentuk simbol identitas yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat
tertentu. Khususnya pada masyarakat Sunda yang menjadi asal lahirnya tari
Jaipong.
Ronggeng Sebagai Ritual
Ronggeng merupakan salah satu kesenian
yang berkembang dan menjadi ciri khas di Jawa Barat. Ronggeng adalah sebuah simbol dari diri seorang perempuan yang
memiliki peran kompleks dalam kehidupan masyarakat. Ronggeng memiliki peran yang sangat beragam dalam setiap tarian
yang dibawakannya. Pada setiap pertunjukkan ronggeng,
seorang penari memiliki peran dan ciri yang berbeda. Perbedaan yang ada
dalam setiap penampilan ronggeng memiliki
pengaruh dalam menarik perhatian penonton yang hadir. Dimana penampilan ronggeng tersebut menjadi magnet
tersendiri untuk penontonnya. Penari ronggeng
memiliki peran yang sangat penting dalam pertujukan, baik dalam seni ritual
ataupun seni pertunjukkan.
Seni ritual merupakan sebuah sarana yang umumnya
dipergunakan dalam ritual yang diselenggarakan oleh masyarakat. Ritual ini
salah satunya adalah ritual dalam pertanian. Tarian ritual ini biasanya
dilaksanakan pada saat sebelum penanaman padi atau menjelang panen padi. Dalam
seni ritual masyarakat Sunda terdapat sebuah unsur penting dalam ritual
tersebut yaitu ronggeng. Ronggeng dalam
seni ritual memiliki fungsi sebagai perlambangan dari Dewi Sri yang diyakini sebagai dewi padi atau dewi kesuburan dalam
mitos kalangan masyarakat Sunda. Oleh karenanya ronggeng menjadi sangat penting dan merupakan tokoh utama dalam
ritual upacara khususnya di bidang pertanian. Menurut masyarakat,ronggeng menjadi perantara komunikasi
dengan leluhur di samping sebagai simbol dari Dewi Sri.Pada saat ronggeng menjadi
penari dalam sebuah ritual, maka ronggeng
dianggap sebagai pekerjaan yang mulia. Karena ronggengmerupakan sebuah simbol dari dewi kesuburan atau biasa
disebut dengan Dewi Sri. Dalam
prakteknya ronggeng merupakan
perempuan yang terhormat dan mulia karena menjadi perwujudan dari Dewi Sri. Pada perkembangannya ronggeng tidak hanya dijadikan sebagai
penari ritual saja, akan tetapi juga berkembang menjadi penari hiburan.
Ritual upacara dalam bidang pertanian tersebut
dimaksudkan sebagai ungkapan syukur kepada dewi
Sri karena para petani telah dilimpahkan rezeki. Ritual yang dilakukan pada
saat musim tanam padi dimaksudkan agar setiap kegiatan pertanian yang mereka
lakukan terhindar dari segala ancaman ataupun penyakit tanaman yang mungkin
akan terjadi saat masa tanam berlangsung. Sedangkan pada saat panen ritual
upacara dimaksudkan sebagai ungkapan terimakasih pada leluhur atas rezeki dari
hasil panen yang telah terkumpul. Ritual ini dilaksanakan dengan ronggeng yang menari di tengah-tengah
kerumunan dengan diiringi para waditra.
Waditra merupakan alat musik yang
terdapat dalam karawitan Sunda. Sebelum ronggeng
melakukan pertunjukan terlebih dahulu mereka melakukan ritual. Ritual pada ronggeng dilakukan guna meminta
kelancaran dalam pelaksanaan ritual upacara.
Ronggeng Sebagai Seni
Pertunjukan
Ronggeng selain sebagai ritual upacara
juga biasa dipertunjukkan sebagai seni hiburan atau seni pertunjukan. Seni
pertunjukan atau hiburan ini salah satunya dilakukan melalui tarian hiburan
yang dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk ungkapan rasa gembira akan perasaan
yang mereka alami. Tarian ini merupakan tarian pergaulan atau yang biasa
disebut dengan sosial dance, dengan
dibawakan oleh wanita dan pria. Tarian hiburan ini tidak menitik beratkan pada
unsur-unsur gerakannya sendiri. Namun, titik berat dari tarian ini terdapat
pada kesenangan pribadi yang dihasilkan dari gerakan tersebut. Sehingga tarianronggeng pada hiburan, gerakannya tidak
terpaku pada tarian yang ada, akan tetapi hanya mengikuti kesenangan hati
masing-masing dari penari atau penikmat tari.
Pergeseran fungsi ronggeng
tidak jelas dimulai sejak kapan. Ronggeng
yang pada awalnya memiliki peran sebagai media perantara dalam ritual yang
dianggap mulia serta terhormat menjadi sebuah tontonan. Selain itu kedudukannya
juga berubah, pandangan masyarakat akan ronggeng
menjadi negatif dan hina. Ronggeng hanya
dipandang sebagai penyemarak hiburan saja. Munculnya ronggeng sebagai hiburan dimulai pada saat Belanda datang. Pada
saat itu Belanda banyak mempekerjakan kuli kontrak dan perempuan-perempuan
pribumi untuk bekerja di perkebunan. Saat itulah berkembang pula kebudayaan
barat sehingga mempengaruhi kebudayaan yang ada di masyarakat.
Citra Ronggeng di Masyarakat
Di masyarakat ronggeng
sering kali diidentikkan dengan perempuan penghibur. Baik itu di luar
panggung ataupun di panggung, yang mana pada penampilannya tidak jarang muncul
adanya keonaran. Keonaran itu disebabkan karena penonton saling berebut untuk
dapat menari bersama dengan ronggeng. Keonaran
tersebut juga tidak menutup kemungkinan menimbulkan korban jiwa. Pada
kenyataannya seorang ronggeng
memiliki banyak peran dan kewajiban di kehidupan sehari-harinya. Selain
memiliki kewajiban untuk menghibur penonton di atas panggung saat pertunjukan,
seorang ronggeng juga bisa jadi
merupakan seorang anak untuk keluarganya atau seorang ibu untuk anak-anaknya.
Ronggeng sebagai seorang anak dalam
keluarganya memiliki tanggung jawab untuk membantu perekonomian keluarganya
terlebih jika mereka belum menikah atau masih lajang. Keadaan ekonomi yang
kekurangan sering kali membuat ronggeng melakukan
berbagai hal untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Tidak jarang ronggeng juga menikah dengan kalangan menak[4]
yang mungkin telah memiliki istri, sehingga status ronggeng tersebut adalah istri simpanan. Sedangkan penari ronggeng yang memiliki tanggung jawab
untuk anak-anaknya terjadi pada perempuan penari ronggeng yang telah menjanda. Baik janda karena perceraian ataupun ditinggal
mati oleh suaminya, yang lebih parah mereka telah tidak diperhatikan atau
dihiraukan kembali oleh suami. Maka dari itu mereka harus bertanggung jawab
layaknya seorang suami untuk mencari
penghidupan bagi dirinya sendiri ataupun anak-anaknya. Selain itu mereka juga
tidak meninggalkan tanggung jawab sebagai seorang ibu untuk mendidik
anak-anaknya meskipun mendapat tanggapan negatif dari masyarakat.
Demi memenuhi kebutuhan yang ditanggung sendiri untuk
seorang ronggeng, mereka tak segan
walau mendapat hinaan dari masyarakat. Hinaan tersebut berkaitan dengan
pekerjaan mereka sebagai ronggeng
yang sering kali dihubungkan dengan pelacur. Hal itu terjadi karena dalam
prakteknya seorang ronggeng mau untuk
memberikan hiburan tambahan untuk lelaki di luar pertunjukkan. Itu dilakukan
semata-mata untuk mendapatkan tambahan penghasilan demi kebutuhan yang harus
mereka penuhi. Dalam perkembangannya ronggeng
tidak hanya dipandang sebagai wanita penghibur dalam sebuah pertunjukan,
tapi juga memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat. Khususnya untuk
pereka yang dianggap sebagai perempuan yang terhormat dan berperan penting
dalam upacara ritual. Yaitu berperan sebagai seorang saman atau sebagai seorang
perempuan yang memiliki kekuatan dalam penyembuhan. Namun yang paling menarik
adalah sebagai seorang ibu. Sebagai seorang ibu, penarironggeng memiliki peran yang sangat besar untuk masa depan
anak-anaknya. Meskipun predikat yang diberikan oleh masyarakat terkait dengan ronggeng telah menjadi beban tersendiri
untuk kehidupannya dengan ditambah mengurus anak tanpa bantuan seorang suami.
Lelaki yang pernah menjadi suami seorang ronggeng
tidak akan memedulikan akan kelangsungan kehidupan dan kebutuhan anak-anaknya.
Maka tidak jarang seorang ronggeng rela
menjadi penjaja seks, hal itu semata-mata untuk mendapatkan penghidupan untuk
dirinya serta anak-anak.
Perbedaan Ronggeng Ritual dan
Pertunjukan
Ronggeng pada mulanya merupakan seorang
yang suci serta dihormati. Pemilihan ronggeng
sendiri tidak dilakukan secara mudah karena seorang ronggeng haruslah dipilih oleh seorang tetua atau tokoh masyarakat
yang mendapat petunjuk dari leluhur. Perempuan calon ronggeng tersebut haruslah yang masih perawan yang selanjutnya
mereka harus menjalani ritual tertentu. Setelah ritual dilakukan tidak secara
langsung ronggeng dapat menjalankan
kewajibannya sebagai penari, mereka harus menunggu selama empat buluh hari dari
hari dilakukannya ritual.
Ronggeng yang melakukan tarian untuk
upacara memiliki beberapa perlengkapan yang harus digunakan. Seperti mahkota
digunakan di atas kepala, kalung, gelang serta busana atau pakaian. Busana atau
pakaian yang dikenakan sendiri juga tertutup. Pertunjukannya dilakukan pada
ruang terbuka tanpa adanya panggung. Pertunjukkan tersebut diiringi oleh musik
yang dimainkan beberapa orang. Hal yang berbeda akan ditemukan pada penari ronggeng dalam pertunjukan hiburan.
Syarat-syarat yang ada pada ronggeng untuk
ritual upacara tidak diperhatikan lagi. Siapa pun dapat menjadi penari ronggeng tanpa harus ditunjuk atau
dipilih oleh tokoh masyarakat maupun leluhur. Sehingga ritual yang panjang juga
tidak dilakukan lagi. Dari segi pakaian yang digunakan juga telah berbeda. Jika
ronggeng yang ada dalam ritual
menggunakan pakaian yang tertutup, maka ronggeng
dalam pertunjukkan hanya menggunakan kembeng
dan kain pada bagian bawah. Pakaian yang digunakan cenderung sederhana dan
terkesan terbuka. Dalam melaksanakan pertunjukannya sendiri ronggeng sebagai pertunjukkan dilakukan
di sebuah ruangan dengan sebuah lukisan atau gambar sebagai latar belakang
penari dan pemain musik.
Penciptaan Kembali Ronggeng
dalam Jaipong
Berbagai isu yang ada di masyarakat mengenai ronggengtelah mendorong keprihatinan
GugumGumbira untuk menyelamatkan kembali kesenian ronggeng yang ada di masyarakat Sunda. Menurut Gugum, ronggeng memiliki sebuah makna yang
sangat dalam, namun karena pandangan yang ada di masyarakat telah ternodai sehingga
hal itu membuat banyak orang memiliki pikiran yang negatif dan memandang
rendang seorang ronggeng. Meskipun
telah ada beberapa orang yang mencoba untuk memperbarui kreasi dari ronggeng akan tetapi masyarakat masih
tetap memiliki stigma yang negatif.
Stigma negatif tersebut memang tidak bisa dipungkiri dari
kehidupan ronggeng. Terlebih pada
mereka yang menjadi tulang punggung kehidupan keluarga. Hal itu diperparah
dengan keadaan ekonomi yang kekurangan, sehingga seperti yang telah dituliskan
di atas bahwa seorang ronggeng dapat
melakukan berbagai hal termasuk memberikan hiburan tambahan di luar panggung
untuk lelaki. Itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan mereka. Beban
dari tindakan tersebut memang tidak ringan, mereka harus menanggung rasa malu
dan gunjingan ataupun lainnya di lingkungan sekitarnya. Ronggeng yang pada awalnya suci dan terhormat telah memiliki makna
yang sangat berbeda dikemudian hari, dengan semakin mudahnya seorang penari
untuk menjadi ronggeng. Berbagai
aturan dan pakem yang digunakan sebagai pedoman seorang ronggeng juga telah ditinggalkan, khususnya pada mereka yang
menjadi ronggeng sebagai hiburan.
Berangkat dari kemirisan itulah Gugum berusaha
menciptakan sebuah kesenian baru. Kesenian tersebut merupakan perpaduan dari
beberapa kesenian yang ada di tanah Sunda, khususnya pada tarian. Dan lahirlah
sebuah tari Jaipong di tahun 1970-1980an. Tari Jaipong tidak lahir dari proses
yang singkat, namun diperlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menjadi
sebesar saat ini. Diawali dengan pengamatan, pembelajaran teknik serta cita dan
citra budaya yang terkandung di dalam sebuah kesenian khususnya tari yang ada
di Jawa Barat. Dalam proses kreatif yang dilakukan oleh Gugum pertama-tama dia
melakukan pengamatan terhadap struktur lagu yang ada di Sunda. Dimanatarian
rakyat yang ada perpatokan dan identik dengan ibingannya patokan lagu. Dalam Ketuk
Tiludan Bajidorantarian tersebut
diawali oleh bubuka, ngala, dan pencuganatau ewog lalu diakhiri dengan nibakeun
kemudian mincid. Pada penciptaan yang
dilakukan oleh Gugum, dia membuat pola iringan yang dimulai dengan bubuka, bukaan, danmincid.Bubukaadalah bagian awal, bukaan bagian tengah, dan mincid
merupakan bagian akhir sekaligus sebagai sisipan dan penghubung.
Pada proses selanjutnya Gugum melakukan workingthetext yaitu kegiatan yang
mengacu pada penyusunan konsepsi. Pada kegiatan ini diseleksilah gagasan untuk
lebih terfokus pada sasaran. Pada tahap ini Gugum juga berdiskusi dengan mitra
kreatifnya. Seleksi dilakukan secara terus menerus untuk menemukan hasil yang
berkualitas. Selanjutnya Gugum melakukan penggalian, penyusunan, pembentukan
dan penghalusan, dalam hal ini adalah menerapkan apa yang telah direncanakan.
Ide-ide harus diwujudkan, segala gagasan harus dituangkan, nilai-nilai harus
ditanamkan, dan keterampilan serta wawasan harus diajarkan, itulah
langkah-langkah yang menjadi pengangan Gugum dalam kerja kreatif. Setelah tarian
terbentuk, selanjutnya Gugum melakukan seleksi pada para penari. Hal itu diperlukan
oleh Gugum untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan konsep garapan.
Terdapat beberapa kriteria yang diinginkan oleh Gugum,
diantaranyahalus gantung Jung tangtungan(memiliki
keunggulan secara fisik dan psikis),cageur(sehat
jasmani dan rohani),bageur(baik
akhlaknya dan tidak banyak bertingkah), Bener
(jujur),pinter(cerdas),singer(aktif, punya inisiatif),pangger(kuat pendiriannya),parigel(terampil, cekatan, mudah
berkomunikasi),cangker(memiliki
stamina yang prima),danmotekar(kreatif).Melalui
pemilihan penari tersebut diharapkan sosok perempuan Sunda yang ideal dapat
terwakili dan terungkapkan sehingga dapat menghidupkan dan mengomunikasikan
inti tarian kepada penonton. Setiap kreator tari memiliki talenta dan kekhasan
sendiri-sendiri. Begitu pun dengan Gugum, dia memilik sebuah konsep yang
berbeda dengan seniman tari lain.
Lahirnya Jaipong yang berangkat dari peran perempuan
serta figur ronggeng(sinden)
dipandang memiliki daya tarik seks. Secara konseptual hal ini beranjak dari
sifat seni kerakyatan yakni seronok, dan tidak terencana. Dimana hal itu
terlihat dari penggunaan kostum, gendhing¸dan
tatanan koreografisnya. Itulah yang menjadi acuan untuk melahirkan rekonstruksi
dan revitalisasi tari rakyat KetukTilu.
Dalam penampilannya yang berkaitan dengan nilai jual, diutamakan daya tarik
(Sunda:pangirut) dari penampilan
fisikronggeng (sinden). Hal itu pula
yang dalam mewujudkan konsepnya dimunculkan oleh Gugum pada aura seorang ronggeng (sinden).
Kesimpulan
Ronggeng awal mulanya hanya tarian
ritual upacara. Seorang penari ronggengmemiliki
kehormatan dan kemuliaan. Tidak Semarang orang dapat menjadi penari ronggeng. Mereka yang dipilih oleh tokoh
masyarakat atau tetualah yang dapat menjadi seorang penari. Selain itu terdapat
ritual yang harus dijalankan oleh seorang calon ronggeng sebelum melakukan pertunjukan pertamanya. Namun, seiring
dengan perkembangan dan datangnya Belanda ke Indonesia telah memberikan
pengaruh pada masyarakat Sunda. Salah satunya pada tarian masyarakat Sunda. Ronggeng sudah tidak hanya menjadi
tarian ritual upacara. Ronggeng juga
menjadi seni tari hiburan yang dipentaskan secara bebas. Karena kebutuhan
ekonomi juga seorang ronggeng tidak
jarang bersedia memberikan hiburan di luar panggung kepada lelaki. Hal inilah
yang menjadi salah satu faktor berubahnya makna ronggeng di masyarakat. Sehingga masyarakat memberikan pandangan
yang negatif dan rendah pada seorang ronggeng.
Karena keprihatinan atas bergesernya makna tersebut,
GugumGumbiraberinisiatif untuk
melahirkan sebuah kesenian baru dengan ronggeng sebagai fokus utama. Setelah melalui berbagai pengamatan
dan pencarian makna pada seni tari yang ada di Sunda, akhirnya Gugum berhasil
melahirkan tari Jaipong. Meskipun tari ini tidak diterima dengan mudah oleh
masyarakat Sunda sendiri. Penari Jaipong juga memiliki beberapa kriteria yang
Gugum inginkan. Dengan adanya kriteria bagi seorang penari diharapkan dia dapat
mengomunikasikan dan menyampaikan makna tarian secara baik kepada penonton.
Daftatr Pustaka
Mufidah, Imro’atul dan SeptinaAlrianingrum. 2016. Perkembangan Kesenian
Ronggeng di Daerah Jawa Barat Tahun 1940-1965. Avatar (e-Jurnal Pendidikan Sejarah), Vol 4(3): 843-855.
Mulyana, Edi. 2009. Kreativitas GugumGumbira dalam Pendiptaan Jaipong. Dewa Ruci, Vol 6 (1):19-48.
Mulyadi, Tubagus. 2013. Bentuk Pertunjukan Jaipong dalam Budaya Populer. Greget, Vol 12(1).
Mulgiyanto, Sal. 1993. “Kritik dalam Perkembangan Tari di Indonesia”, dalam
Seni Pertunjukan Indonesia. jurnal
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Narawati, Ati. 2004. Dari Ritual Ke Panggung Pertunjukan: Perkembangan Tari
dalam Kehidupan Masyarakat. Humaniora,
Vol 16(3): 332-343.
Ramlan, Lala. 2013. Jaipong: Genre Tari Generasi Ketiga dalam Perkembangan
Mai Pertunukan Tari Sunda. Resital, Vol
14(1): 41-55.
Simatupang, Lono. 2013. Pagelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya.
Yogyakarta: Jalasutra.
Video
IndonesiaKaya. 2014. Tarian Khas Sunda: Mojang Jaipong [Online]. https://www.youtube.com/watch?v=i8QViVe-v1E
[28 September 2016].
IndonesiaKaya. 2015. Indonesia Menari 2014 [Online]. https://www.youtube.com/watch?v=ZZR3aAx6ZXk
[28 September 2016].
Indonesia Heritage. 2016. Tari Ketuk Tilu, Tarian Cikal Bakal Jaipong Jawa
Barat [Online]. https://www.youtube.com/watch?v=Xeb4BWnnAyQ [4 Oktober 2016].
[1]Laila Ramlan. 2013. Jaipong: Genre Tari Generasi
Ketiga dalam PerekmbanganSenni Pertunjukan Tari Sunda. Resital, vol 14(1)
[2]Laila Ramlan. 2013. Jaipong: Genre Tari Generasi
Ketiga dalam PerekmbanganSenni Pertunjukan Tari Sunda. Resital, vol 14(1)
[3]Laila Ramlan. 2013. Jaipong: Genre Tari Generasi
Ketiga dalam PerekmbanganSenni Pertunjukan Tari Sunda. Resital, vol 14(1)
[4]Bangsawan.
Komentar