Papua : Otonomi Khusus, Migran, dan Konflik
Tugas Akhir Semester
Kesukubangsaan dan Nasionalisme
Papua : Otonomi Khusus, Migran, dan Konflik
Immas Putri A
14/363546/SA/17317
Antropologi Budaya
Fakultar Ilmu Budaya
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Yogyakarta
2015
Papua : Otonomi Khusus, Migran, dan
Konflik
Pendahuluan
Berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia telah
menjadikan negara ini sebagai salah satu negara yang memiliki beraneka ragam
budaya. Suku bangsa atau etnis ini memiliki keunikan setiap kelompoknya. Dari
berbagai macam perbedaan yang ada mereka disatukan dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Negara Indonesia yang telah terbentuk secara resmi sejak
tahun 1945, telah banyak mengalami berbagai masalah. Baik permasalahan yang
terjadi dari dalam negeri maupun permasalahan dengan negara lain.
Permasalahan yang terjadi dari dalam ini sudah
terjadi beberapa tahun pasca kemerdekaan. Sebagai negara yang baru berdiri
Indonesia mengalami banyak tantangan. Seperti dari pembentukan Negara Islam
Indonesia, pemberontakan yang menginginkan untuk lepas dari Indonesia, dan
berbagai pemberontakan baik yang besar maupun kecil.
Permasalahan atau konflik yang terjadi disebabkan
karena berbagai hal. Menurut Persudi Suparlan (dalam Riadi 2009) konflik adalah
sebuah perjuangan antarindividu atau kelompok untuk memenangkan suatu tujuan
yang diinginkan. Seperti yang terjadi di Indonesia, setiap kelompok-kelompok
tersebut memiliki keinginan masing-masing yang kadang berbenturan satu dengan
yang lain. Konflik seperti bukanlah hal yang baru bagi mereka yang tinggal di
negara yang pluralisme.
Seiring
dengan berjalannya waktu dan berubahnya pemerintahan. Beberapa tuntutan masyarakat
mulai direspon oleh pemerintah, salah satunya dengan adanya otonomi daerah. Otonomi
daerah menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 mengenai
Pemerintah Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tujuan dari otonomi daerah
adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing
daerah. Dengan adanya otonomi tersebut diharapkan dapat menekan adanya
konflik-konflik yang ada di daerah. Selain itu otonomi juga diharapkan mampu
mempermudah masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya.
Sejarah
dan Politik
Papua yang dulunya merupakan daerah dengan nama
Irian Jaya Barat merupakan salah satu wilayah yang begitu diperjuangkan oleh
pemerintah Indonesia untuk dapat menjadi salah satu bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pemerintah pada masa itu berjuang begitu keras untuk
mendapatkan wilayah Papua dari tangan penjajah Belanda. Perjuangan untuk
mendapatkan wilayah Papua dilakukan secara militer dan secara diplomasi.
Menurut hasil Konferensi
Meja Bundar di Den Haag, Belanda, Komisi PBB untuk kedaulatan Indonesia
menyepakati Piagam Penyerahan Kedaulatan yang menghasilkan beberapa
keputusan, salah satu diantaranya adalah Belanda harus menyerahkan kedaulatan
Indonesia kepada RIS tanpa syarat sebagai suatu negara yang merdeka dan
berdaulat penuh. Kedaulatan itu harus diserahkan selambat-lambatnya pada 30
Desember 1949.
Selain itu pemerintah
Belanda yang melihat adanya ketegangan antara Indonesia dengan Belanda, maka
Gubernur Belanda yang ada di Papua merasa perlu untuk membentuk suatu komite
yang beranggotakan 21 orang, yang selanjutnya dilengkapi dengan 70 orang putra
Papua yang berpendidikan. Dari komite tersebut lahirlah sebuah manifesto.
Dalam manifesto itu
terdapat beberpa poin diantaranya menentukan nama negara menjadi Papua Barat,
menentukan lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua, menetukan bendera Bintang Kejora,
dan menentukan bahwa Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961.
Pemerintah Belanda kemudian menyebut manifesto tersebut sebagai suara rakyat Papua
yang ingin merdeka. Namun, rencana pengibaran bendera Bintang Kejora tidak
dapat dilaksanakan pada 1 November 1961 karena belum mendapat izin dari
Pemerintah Belanda di Belanda. Setelah izin itu didapat maka pada 1 Desember
1961 bendera Bintang Kejora dapat dikibarkan di Jayapura dan pada saat itu juga
deklarasi kemerdekaan Papua Barat terjadi.
Reaksi pemerintah
Indonesia terhadap peristiwa tersebut adalah dengan pembentukan Dewan
Pertahanan Nasional yang bertugas menghimpun seluruh kekuatan untuk melepaskan
Papua Barat dari Belanda. Pada tanggal 19 Desember 1961 membentuk Trikora dan
tanggal 2 Januari 1962 Presiden Soekarno membentuk Komando Mandala guna
membebaskan Papua.
Selama masa sengketa
masyarakat Papua sama sekali tidak dilibatkan dalam penyelesain sengketa.
Mereka menjadi warga yang pasif dan hanya melihat yang terjadi. Untuk
menghindari terjadinya konflik di tanah sengketa pemerintah Amerika Serikat
melalui PBB menekan Belanda untuk menyerahkan Papua kepada pemerintah
Indonesia. Penekanan itu terjadi melalui New York Agrrement yang berawal dari
proposal Bunker yang harus diterima dan di setujui oleh Belanda.
Pada saat New York
Agrrement dibuat masyarakat Papua sama sekali tidak dilibatkan dalam proses
pembuatan hingga penandatangannya. Dari New York Agrrement itulah yang menjadi
landasan bagi Pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua kepada PBB. Terdapat
suatu badan tersendiri yang menangani penyerahan Papua dari Belanda kepada
Indonesia yang disebut UNTEA, badan ini merupakan pemerintah sementara yang
dibentuk oleh PBB.
Setelah itu PBB dan
Indonesia memberikan kebebasan kepada rakyat Papua untuk memilih yaitu hak
pilih untuk semua orang dewasa pria atau wanita. Pada tahun 1969 dilakukan
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang telah diawali dengan sosialisasi dan
konsultasi di 8 kabupaten yang ada disana mengenai pelaksanaan PEPERA. Untuk
menyelenggarakan PEPERA dibentuklah Dewan Musyawarah PEPERA yang memiliki tugas
untuk menyelenggarakan pemilihan, pelantikan dan pengesahan wakil rakyat yang
berada dalam dewan itu.
Akan tetapi pada
pelaksanaannya pemilihan anggota dewan dilakukan oleh penguasa dan mengontrol
semua proses seleksi DMP. Akibatnya suara yang semula one man one vote atau
semua laki-laki dan wanita dewasa memiliki hak suara berubah menjadi one
delegation one vote. Yang mana delegasi yang datang sebanyak 1.026 suara
yang merupakan anggota DMP. Pelaksanaan PEPERA mengalami intimidasi yang
berjalan dibawah kendali pemerintah Indonesia sehingga memberikan keuntungan
bagi pemerintah Indonesia.
Setelah Papua secara resmi
masuk menjadi bagian dari wilayah Indonesia, terdapat perlawanan dari orang-orang
yang tidak menyetujui jika Papua menjadi bagian dari Indonesia. Perlawanan itu
awalnya dilakukan secara terang-terangan. Namun, karena mendapat tekanan dari
pemerintah Indonesia akhirnya perlawanan berubah menjadi gerakan bawah tanah.
Semenjak saat itu perlawanan dilakukan secara tertutup dengan didominasi
kekuatan bersenjata dan berbasis di hutan.
Sejak adanya reformasi di
tahun 1998 pola pergerakan perlawanan yang
baru muncul. Hal itu ditandai dengan adanya dialog Tim 100 ke Jakarta,
Musyawarah Besar Rakyat Papua 2000 dan Kongres Papua II 2000. Ketika Presiden
Abdurrahman Wahid memimpin, beliau memberikan peluang yang lebih untuk
berdemokrasi. Namun konsistensi nasionalismenya dipertanyakan pada kemudian
hari karena mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora. Dari situlah
perjuangan masyarakat Papua mulai lebih demokratis dan lebih akomodatif.
Pada pengibaran Bendera
tahun 1999 masyarakat juga memutuskan tujuh tuntutan yang disampaikan kepada
DPRD Papua. Kemudian dibentuklah tim yang beranggotakan DPRD dan perwakilan
rakyat Papua. Guna menyampaikan tuntutan tersebut kepada presiden RI. Tiga dari
tujuh tuntutan itu sudah dapat terlaksana yaitu perubahan nama Irian Jaya Barat
menjadi Papua, pembebasan Tapol Napol dan Papuanisasi.
Dorongan untuk kembali
menggunakan nama “Papua” berasal dari kekecewaan para elit politik lokal karena
selama menjadi bagian Indonesia sejak orde lama (1945-1965) hingga orde baru
(1966-1998) selama 36 tahun, wilayah ini masih menjadi wilayah yang terbelakang
dan semakin tertinggal daripada wilayah yang lain.
Pada tanggal 16 Agustus
2000 DPRD Provinsi Irian Jaya mengeluarkan keputusan No. 7/DPRD/2000 yang
menyetujui tentang perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua. Dengan perubahan
nama ini menjadi salah satu faktor penting dalam perlakuan khusus bagi Papua
sebagai daerah otonom. Pada tahun 2000-2001 para delegari dari Papua
memperjuangkan adanya otonomi khusus bagi Papua. Setelah melalui pengkajian yang
dilakukan oleh berbagai pihak akhirnya pada
tahun 2001 melalui Undang-Undang Nomor 21 pemerintah Indonesia memberikan otonomi khusus pada Provinsi Papua. UU otonomi
khusus tersebut ditandantangani oleh Presiden Megawati pada tanggal 21 November
2001.
Otonomi khusus tersebut
ialah pemberian kewenangan
yang lebih luas bagi Provinsi Papua dan rakyat Papua untuk mengatur
dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(Djojosoekarto dkk 2008). Kewenangan tersebut yang berarti pemeritah Papua harus dapat meyelenggarakan
pemerintahan dan mengatur pemanfaatan alam di Provinsi Papua untuk
kesejahteraan rakyak Papua dengan tanggung jawab yang lebih besar. Selain itu
pemerintah Papua juga harus dapat memberdayakan segala potensi (sosial, budaya
dan ekonomi) bagi kepentingan masyarakat Papua.
Dua tahun kemudian
Presiden Megawati mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 2003 mengenai
pembagian Provinsi Papua menjadi dua bagian yaitu Papua dan Irian Jaya Barat.
Provinsi Irian Jaya Barat ini biasanya disebut juga dengan bagian kepala
burung. Pembagian wilayah Papua ini merupakan hasil dari wacana yang telah ada
sejak tahun 1999. Otonomi khusus ini menjadi kenyataan sejak adanya reformasi
di Indonesia. Pada tahun 2004 terpilihlah Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
presiden yang baru dan ia juga mendukung adanya otonomi khusus bagi Papua.
Sebelum menjadi presiden Yudhoyono yang merupakan Menteri Koordinator Politik
dan Keamanan juga menjadi salah satu pemikir utama kebijakan otonomi khusus.
Maksud dari pemberian
otonomi khusus bagi Papua adalah untuk menegakan supremasi hukum, penghormatan
HAM, kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain, peningkatan
kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, percepatan pembangunan ekonomi dan
mewujudkan keadilan.
Migran
Papua
sebagai daerah yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki wilayah yang luas
namun masih sedikit penduduk yang mendiaminya, menjadikan Papua sebagai salah satu daerah tujuan
transmigrasi. Mereka yang melakukan transmigrasi ke Papua adalah orang-orang
dari Jawa, Buton, Bugis, Makasar dan beberapa daerah yang lain. Dengan adanya
pendatang yang berasal dari luar daerah maka melahirkan suatu golongan
masyarakat yang baru. Golongan orang-orang migran yang pada umumnya berada pada
posisi-posisi yang strategis. Hal itu disebabkan karena migran memiliki sumber daya
sosial maupun ekonomi yang lebih baik. Karena itu mereka bekerja sebagai PNS,
pedagang, ataupun orang-orang yang cukup memiliki pengaruh. Karena jenis
pekerjaan yang mereka miliki membuat para migran ini menempati kawasan kota.
Sehingga daerah kota mengalami perkembangan yang cukup cepat dibandingkan
dengan kawasan pedalaman.
Perubahan komposisi penduduk yang ada di Papua
membuat penduduk asli Papua merasa kurang nyaman. Hal itu disebabkan karena
masyarakat asli Papua belum terbiasa dengan banyaknya suku-bangsa di sekitar
lingkungan mereka. Namun, bagi mereka yang tinggal di kota hal itu tidaklah
begitu terasa akan tetapi bagi mereka yang hidup di kampung akan sangat terasa.
Migran
yang telah menguasai sumber-sumber ekonomi menjadikan masyarakat asli mengalami
kecemburuan sosial, ketidak senangan, kesulitan hidup, rasa tidak suka. Selain
kepada para pendatang sikap ini juga mulai ditunjukkan kepada penduduk asli
yang berhasil di kota. Meskipun mereka tidak sampai pada pengusiran fisik
karena mungkin mereka takut kepada aparat keamanan.
Dengan
banyaknya pendatang yang ada di Papua yang membawa budaya beragam membuat para
penduduk asli harus mengalami perubahan. Masyarakat Papua yang memiliki kepercayaan animisme
dan dinamisme yang kemudian mengenal agama Kristen dibawa misionaris harus
berkenalan dengan agama-agama baru. Akan tetapi sebagian dari mereka menolak
adanya pembangunan ibadah untuk agama lain yang bersifat terpusat. La Pona
(2008) menuliskan bahwa ada beberapa asosiasi keagamaan Kristen yang menentang
pembangunan pesantren, belum bisa dibangunnya masjid di Universitas Cendrawasih
atau Masjid Agung di kota Monokwari. Hal itu menunjukkan jika ditengah-tengah
kehidupan masyrakat Papua masih terdapat golongan masyarakat yang belum dapat
menerima kelompok yang berbeda dengan mereka.
Adanya
perbedaan kultural antara pendatang dan penduduk asli tidak jarang menimbulkan
konflik perilaku. Para pendatang yang mendominasi kekuasaan memberikan
stereotip kepada orang Papua
dengan sebutan kelas dua, kotor, dan jorok. Begitu juga sebaliknya, penduduk
asli juga memiliki stereotip terhadap para pendatang. Mereka yang kaya pastilah
hasil dari korupsi. Orang Papua memiliki pandangan seperti itu karena bagi
mereka penyelenggara pemerintahan banyak yang menipu dan korupsi besar-besaran
hampir disemua bidang. Sehingga orang Papua sangat membenci perilaku pendatang.
Selain
itu penduduk Papua mengenal
para pendatang melalui militer. Dimana saat itu para militer sedang melakukan
operasi. Para militer melakukan penangkapan, itimidasi, dan penahanan yang
sewenang-wenang sehingga membuat rayak Papua menderita. Dari situlah mereka
memiliki pandangan jika para pendatang itu kasar. Militer juga diidentikan
dengan suatu agama tertentu.
Hal
itu akan berbeda jika orang Papua
melihat para pendatang kulit putih. Awal perkenalan mereka dengan orang kulit
putih adalah saat misionaris menyiarkan agama. Orang-orang yang menyebarkan
agama tentulah memiliki perilaku yang baik.
Hal itu tentu berbeda dengan pandangan yang ada pada militer. Sehingga
muncul stereotip jika pendatang kulit putih selalu baik bagaikan juru selamat,
sedangkan pendatang Indonesia selalu membawa bencana untuk orang Papua.
Analisis
Papua
sebagai daerah yang dianggap rawan terhadap konflik karena banyaknya pendatang
yang ada. Membuat pemerintah banyak menempatkan militer-militer pada
daerah-daerah tertentu. Selain itu jika dilihat kebelakang terdapat kelompok
yang menyetujui Papua untuk bergabung dengan Indonesia dan ada pula
kelompok yang tidak menginginkan Papua
menjadi bagian dari Negara Indonesia. Inilah yang menjadi alasan kenapa Papua
menjadi daerah yang rawan konflik. Hal itu dimaksudkan jika suatu ketika
terjadi pemberontakan maka militer telah ada disana dan dapat melindungi warga
yang tidak terkait.
Daerah-daerah
merah atau rawan biasanya dipimpin oleh orang-orang yang berasal dari latar belakang militer. Baik
ditingkat provinsi ataupun kabupaten. Meskipun reformasi telah terjadi akan tetapi
militer masih tetap memiliki pengaruh. Orang-orang yang berada pada posisi
pimpinan adalah mereka yang dekat dengan militer. Daerah merah tidak hanya pada
wilayah yang rawan konflik antar warga dengan pemerintah, warga dengan warga
akan tetapi juga pada wilayah yang memiliki investasi yang tinggi.
Para
investor yang akan membuka perusahaan di tanah Papua biasanya kurang menghargai
kesepakatan dengan penduduk asli. Mereka selalu menggunakan campur tangan pemerintah
dan kekuatan militer untuk menjaga investasinya. Ketika pemerintah berada
diantara investor dan warga mereka tidak jarang mengambil keuntungan.
Keuntungan tersebut diperoleh dengan cara memanipulasi penggantian hak ulayat
milik warga. Perusahaan tidak akan bertanggung jawab dengan kasus seperti itu.
Bagi perusahaan pemerintahlah yang harus menyelesaikan masalah itu. Dari
situlah biasanya perusahaan menjadi salah satu sumber konflik di tengah-tengah
masyarakat.
Setelah
reformasi terjadi keberadaan militer sudah mulai berkurang pada tingkat
eksekutif dan legislatif. Namun, mereka masih berusaha untuk tetap
mempertahankan dominasi secara nyata. Latifah Anum Siregar (2004) menuliskan jika perilaku militer
terutama non organik masih saja bersikap arogan, bersikap sewenang-wenang,
melakukan penganiayaan, pemaksaan penjualan hasil laut, sungai dan kebun,
terutama pada daerah-daerah perbatasan dan terpencil. Selain itu ketika
pembuatan kesepakatan ganti rugi hak ulayat juga melibatkan militer, biasanya
kesepakatan dilakukan di kantor koramil atau bahkan sampai upaya mem-back up
investasi yang sedang berjalan.
Dengan
adanya otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat sejak tahun 2001
diharapkan masyarakat Papua dapat mengelola segala sumber daya yang ada untuk
kesejahteraan masyarakatnya. Otonomi juga diberikan dengan maksud untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua, memberikan kesempatan kepada
penduduk asli, dan mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dengan provinsi
lain. Peningkatan kesejahteraan itu dilakukan dengan cara pemberian dana yang
besar untuk Provinsi Papua pada bidang pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan
pemberdayaaan ekonomi. Jumlah uang yang tinggi tidak diikuti dengan fungsi
kontrol yang baik karena terdapat pemahaman kebebasan untuk mengatur urusan
rumah tangganya sendiri. Hal itu menjadikan gubernur harus mendorong bupati
untuk memberikan pertanggungjawaban otonomi khusus, akan tetapi bupati memiliki
pemahaman bahwa mereka tidak perlu memberikan pertanggung jawaban kepada
gubenrur.
Belum
siapnya penduduk asli untuk menerima kesempatan yang diberikan dari adanya
otonomi khusus terutama pada bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif
menjadi terdapat kesan pemaksaan jabatan untuk diduduki oleh orang asli. Hal
itu terjadi karena belum terpenuhinya kualifikasi jabatan karena diskriminasi
pada orde baru. Sehingga meninbulkan efek negatif seperti kesewenang-wenangan
yang terjadi pada orde baru.
Dengan
adanya para migran di Papua membuat tatanan masyarakat yang sudah ada mengalami
perubahan. Para migran umumnya menempati posisi yang lebih tinggi dibandingkan
penduduk asli. Feagin dan Feagin (dalam La Pona 2008) mengemukakan bahwa selalu
ada perbedaan derajat maupun status dalam pergaulan individu dalam semua
masyarakat. Baik masyarakat yang sederhana maupun yang kompleks. Mereka akan
membentuk suatu gaya hidup dan adat kebiasaan yang khas ketika berinteraksi
dengan individu atau golongan yang lain. Interaksi dengan pergaulan dengan
individu maupun golongan lain tersebut berguna untuk adaptasi. Adaptasi
tersebut dapat memanfaatkan adanya jaringan sosial yang telah terbangun dari
interaksi dengan golongan luar. Apabila jaringan sosial tersebut lemah makan
akan menjadi penyebab konflik sosial yang langgeng dan mengalami peningkatan
(La Pona 2008).
Diperlukan
adanya kelompo-kelompok lain yang memiliki latar belakang yang berbeda baik
ras, suku-bangsa, agama, kedaerahan dan pelapisan sosial yang saling menyilang
untuk dapat menghasilkan suatu golongan yang bersifat menyilang untuk dapat
membangun keeratan sosial melalui jaringan lintas etnis (Nasikun dalam La Pona
2008). Dalam proses penyilangan tersebut telah menyebabkan konflik antar
masyarakat terjadi tidak terlalu tajam. Mitchel (dalam La Pona) mengemukakan
bahwa jaringan sosial lebih menitikberatkan pada karakteristik keterkaitan dari
hubunngan antarindividu dengan lainnya di dalam hal perilaku manusia di dalam
masyarakat.
Faktor-faktor
yang menyebabkan adanya konflik di Papua sangatlah beragam. Seperti
kepentingan, hubungan antarmanusia, ideologi, struktur, dan data. Konflik di
Papua dapat berwujud tertutup atau sembunyi (latent), mencuat (emerging),
dan terbuka (manifest). Konflik tentang sistem pemerintahan di Papua
telah sampai pada emerging dan manifest. Perbedaan ideologi juga
menjadi salah satu pemicu antar individu dan kelompok masyarakat yang muncul
secara sistematis pada masyarakat dan ditujukan untuk kalangan tertentu.
Konflik
sosial tidak selamanya bernilai negative. Dengan adanya konflik ditengah
masyarakat dapat mengubah pandangan yang ada seperti berubahnya pemahaman akan
sesama, menghargai perbedaan, memahami keberagaman, dan mendorong adanya
mobilisasi sumber daya dengan cara-cara baru. Konflik memiliki dua potensi
yaitu bahaya dan peluang. Konflik dapat memunculkan energi yang bersifat
merusak dan bersifat kreatif. Konflik dapat menjadi produktif dan nonproduktif.
Konflik yang produktif akan membawa manfaat. Sedangkan konflik yang tidak
produktif akan membentuk prasangka terhadap lawan, stereotip, makian, sarat emosi,
dan memburuknya komunikasi kelompok masyarakat.
Kesimpulan
Setiap
daerah di Indonesia memang diperlakukan sama. Namun, terdapat daerah-daerah
tertentu yang harus memperoleh pelakuan yang berbeda. Salah satu contohnya
Papua. Papua mendapatkan otonomi khusus karena pemerintah mengharapkan dengan
adanya otonomi tersebut masyarakat dapat mengalami peningkatan kesejahteraan.
Sumber daya alam yang ada di tanah Papua sangatlah melimpah. Namun, masyarakat
belum mampu mengelolanya dengan baik. Sehingga menjadi daya tarik tersendiri
bagi investor dan migran. Kedatangan para investor dan migran diikuti juga
dengan dampak negatif. Konflik yang sejak awal telah ada di Papua semakin
kompleks. Otonomi khusus yang diharapkan mampu untuk dapat menangi
konflik-konflik itu masih harus dilihat kontribusinya.
Daftar Pustaka
Anonim. 2008. “Papua”, dalam Agung Djojosoekarto, Rudiarto
Sumarwono, dan Cucu Suryaman (ed), Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia:
Pembelajaran dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta, dan Yogyakarta. Jakarta:
Kemitraan.
Bertrand, A. 2004. “Autonomy as a Solution to Ethnic Conflict”,
dalam Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Cambridge: Cambridge
University Press.
Pelly, U. 1999. “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia: Suatu Kajian
Awal Konflik dan Disintegrasi Nasional di Era Reformasi”. Antropologi
Indonesia. 58, 27-35.
Pona, La. 2008. “Penduduk, Otonomi Khusus, dan Fenomena Konflik
di Tanah Papua”. Jurnal Kependudukan Indonesia. III (1), 51-67.
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004, No. 125. Sekertaris Negara. Jakarta
Riyadi, S. 2009. “Analisis Pemekaran Wilayah dan potensi Konflik
di Kabupaten Donggala”. Academica. 1 (2), 200-221.
Siregar, L. A. 2004. “Konflik
Separatis di Papua”, dalam Lambang Trijono, M. Najib Azea, Tri Susatinarjanti,
Moch. Faried Cahyono, dan Zuly Qodir (ed), Potret Retaknya Nusantara: Studi
Kasus Konflik di Indonesia.Yogyakarta: Center for Security and Peace
Studies Books.
Komentar