Sengketa Merek Dagang
Sengketa Merek Dagang
Tugas
Akhir Semester Mata Kuliah Antropologi Hukum
Kelas
Antropologi Budaya
Oleh
Immas
Putri Agustin
14/363546/SA/17317
Jurusan
Antropologi Budaya
Fakultas
Ilmu Budaya
Universitas
Gadjah Mada
Yogyakarta
2017
Pendahuluan
Merek, logo atau
nama dagang merupakan sebuah hal yang sangat penting bagi seorang pengusaha.
Melalui merek, logo atau nama dagang tersebut barang produksinya akan dikenal
oleh masyarakat. Merek, logo atau nama dagang selanjutnya akan penulis sebut
dengan merek. Selain mengindentifikasi kepada sebuah produk, merek juga akan
mengingatkan masyarakat pada produk sejenisnya. Sebagai contohnya Aqua, Aqua merupakan salah satu air mineral dalam kemasan yang diproduksi
oleh PT Aqua Golden
Mississippi Tbk sejak tahun 1973[1]. Kemasan
Aqua terdiri dari kemasan gelas,
botol plastik dan botol kaca. Sebagai produk air mineral pertama dan terbesar yang
ada di Indonesia tentunya air mineral ini sangat familiar di kalangan
masyarakat. Sehingga sampai saat ini kita dapat menemukan masyarakat akan
menyebut semua air mineral dalam kemasan dengan sebutan Aqua meskipun sesungguhnya merek dari air mineral dalam kemasan
tersebut bisa saja Club, Cleo, Total,
Asa, Ades atau pun yang lainnya.
Dalam tulisan ini penulis tidak akan membahas mengenai berbagai macam
produk air mineral yang ada. Akan tetapi penulis akan membahas mengenai
sengketa merek yang terjadi di Indonesia. Kajian tentang sengketa merek dagang sepertinya
merupakan sebuah isu yang cukup populer dibahas pada Ilmu Hukum khususnya di
Indonesia ataupun secara Internasional. Sengketa merek dagang bukanlah sebuah
isu yang baru. Isu ini telah ada sejak lama dan merupakan salah satu sejarah
yang melatarbelakangi munculnya merek dagang itu sendiri. Sengketa merek dagang
umumnya terjadi antara pemilik merek dagang dari luar Indonesia dengan pemilik
Indonesia. Dimana merek dari luar Indonesia ini sering kali adalah merek yang
sudah terkenal namun belum mendaftarkan mereknya di Indonesia. Sedangkan orang
Indonesia ini terlebih dahulu mendaftarkannya kepada Direktorat Jendral
Kekayaan Intelektual. Selanjutnya saat merek dari luar negeri tersebut akan
melakukan pengembangan dagang mereka baru mengetahui bahwa mereknya telah
didaftarkan oleh orang Indonesia, maka pemilik merek yang ‘asli’ akan melakukan
gugatan untuk mendapatkan mereknya kembali.
Kasus seperti diatas bukan hanya satu atau dua kasus dalam satu tahunnya.
Selama tahun 2015 setidaknya terdapat delapan puluh gugatan merek yang diajukan
di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat[2].
Sedangkan selama Januari hingga Mei 2016 telah terdapat lima puluh dua gugatan.
Secara lebih lanjut akan dibahas pada pembahasan selanjutnya.
Pembahasan
Apa itu Merek?
Pendapat para ahli
tentang merek sangat beragam. Terlebih dahulu penulis akan memapaparkan beberapa
pendapat tentang merek sebeulum menuliskan pengertian merek dari undang-undang
yang berlaku. Beberapa pendapat itu diantaranya
· Merek adalah tanda pengenal yang membedakan milik seseorang dengan milik
orang lain, seperti pada pemilikan ternak dengan memberi tanda cap pada
punggung sapi yang kemudian dilepaskan ditempat penggembalaan bersama yang
luas. Cap seperti itu memang merupakan tanda pengenal untuk menunjukkan hewan
yang bersangkutan adalah milik orang tertentu. Biasanya, untuk membedakan dengan
tanda atau merek digunakan inisial dari nama pemilik sendiri sebagai tanda
pembeda (Harsono Adisumarto. 1989 via Hidayati 2011)
· ... merek adalah suatu tanda (sign)
untuk membedakan barang-barang yang sejenis yang dihasilkan atau diperdagangkan
seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum dengan barang-barang yang
sejenis yang dihasilkan oleh orang lain, yang memiliki daya pembeda maupun
sebagai jaminan atas mutunya dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang
atau jasa (Limbong 2001)
· ..., Hilary E. Pearson & Clifford G. Miller menyatakan nama, logo,
merek dan kemasan ada untuk menunjukkan segala hal yang diasosiasikan dengan
suatu bisnis, produk, atau jasa dan digunakan oleh orang untuk membedakan
produk atau jasa dari bisnis yang sama, yang terletak nilai komersial dan
kepentingannya. Nama, logo, dan kemasan digunakan untuk mewakili image dan
reputasi dari suatu bisnis atau perusahaan, untuk memberikan identitas image
secara umum, terhadap produk dan jasa utama. Lebih jauh, logo dan kemasan
mempunyai tiga peranan yang sama, yaitu mengidentifikasi perusahaan atau
entitas perdagangan, beroperasi sebagai suatu merek, dan dapat juga dipilih
untuk memperkuat image yang disampaikan melalui nama dan iklan (Setiarini 2012)
· The scale of equity in modern
brands, built up through distinguishing one product from another, preventing
misappropriation of reputation, and justifying investment in maintaining
consistent and generally high productstandards, isunquestionable, but it depends
on a legal privilege, not a right (Kingston 2006).
Jika melihat dari undang-undang
terkait merek dagang, setidaknya terdapat Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun
2001 yang kemudian telah diperbaharui menjadi Undang-Undang Merek dan Indikasi
Geografis Nomo 20 Tahun 2016. Penulis akan menggunakan dua UU tersebut untuk
mencari tahu perubahan yang ada terkait dengan pengertian merek.
Undang-Undang Merek
Nomor 15 Tahun 2001 pasal 1 ayat 1
1. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan
dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis Nomor 20 Tahun 2016 pasal 1 ayat
1-4
1. Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar,
logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi
dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau
lebih unsur tersebut -untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi
oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/ atau jasa.
Dari dua UU diatas
pada pasal 1 terdapat penjelesan terkait merek khususnya berupa bentuk grafis
dan bentuk dimensinya –dua dimensi atau tiga dimensi–. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa merek tidak hanya yang berupa dua dimensi saja tetapi juga
tiga dimensi. Dimana pada pendpat-pendat ahli sebelumnya juga belum ada. Menururt
penulis pendapat dari Hilary E. Pearson dan Clifford G. Miller merupakan
penjabaran mengenai merek yang lebih rinci dari pada beberapa pendapat yang
lainnya. Merek tidak hanya mewakili produk yang dibawanya, tetapi juga menunjuk
pada gambaran dan reputasi perusahaan. Oleh karenanya merek menjadi sesuatu
yang sangat penting bagi pemiliknya. Selain itu merek tidak dapat muncul dengan
sendirinya, tetapi harus melalui sebuah proses pemikiran dari seorang manusia
(pencipta) sehingga merek mendapatkan hak kekayaan intelektuan.
Pendaftaran dan Sengketa Merek
Terdapat dua sistem
yang dikenal dalam pendaftaran merek, yaitu sistem deklaratif (first come, first out) dan sistem
konstitutif (first to file principle)[3].
Pada sistem deklaratif pemberian hak merek diberikan kepada pemakai pertama.
Jadi siapapun yang memakai pertama kali maka dialah yang berhak untuk
mempergunakan merek tersebut berdasarkan hukum. Pemakai pertama ini berhak
mempergunakan merek hingga terdapat pembuktian terbalik. Jika tidak ada
pembuktian maka dia berhak mempergunakan merek sesuai dengan hukum yang
berlaku. Sedangkan sistem konstitutif yang dianut
dalam sistem perlindungan Merek di Indonesia membuat siapapun - baik perorangan
maupun badan hukum - yang pertama kali mendaftarkan suatu merek untuk kelas dan
jenis barang/jasa tertentu, dianggap sebagai pemilik hak atas merek yang
bersangkutan untuk kelas dan jenis barang/jasa tersebut[4]. Selain itu juga didukung dengan adanya pernyataan
tertulis yang menyatakan bahwa benar si pemohon yang memiliki hak atas merek
tersebut untuk diajukan bersama dengan pengajuan permohonan. Klaim dari
kepemilikan merek tersebut menjadi tidak berlaku saat adanya gugatan
pembatalan.
Salah satu kasus
tertua mengenai sengketa terjadi pada tahun 1917 mengenai pelanggaran tanda
(merek) yang digunakan oleh Aunt Jemima
Mills Co. v. Rigney & Co, sedangkan perusahaan lain menggunakan tanda
tersebut pada produk komplementer sirup pancake (Petty 2011). Sengketa merek sering kali terjadi dengan
adanya itikad tidak baik (Mardianto 2011; Far-Far 2014; Setiarini 2012;
Halomoan 2008). Menurut Amalia Rooseno dalam Mardianto itikad tidak baik itu,
... meliputi perbuatan “penipuan” (fraud),
rangkaian “menyesatkan” (misleading)
orang lain, serta tingkah laku yang mengabaikan kewajiban hukum untuk mendapat
keuntungan. Bisa juga diartikan sebagai perbutan yang tidak dibenarkan secara
sadar untuk mencapai suatu tujuan yang tidak jujur (dishonesthy purpose). Dalam pengkajian merek, setiap perbuatan
peniruan, reproduksi, mengkopi, membajak atau membonceng kemasyuran merek orang
lain dianggap sebagai perbuatan pemalsuan, penyesatan atau memakai merek orang
lain tanpa hak (unauthorized use)
yang secara harmonisasi dalam perlindungan merek dikualifikasikan sebagai
persaingan curang (unfair competition)
serta dinyatakan sebagi perbuatan mencari kekayaan secara tidak jujur (unjust enrichment) (Mardianto 2010).
Pelanggaran
terhadap hak merek motivasinya adalah untuk mendapatkan keuntungan secara
mudah, dengan mencoba, meniru, atau memalsu merek-merek yang sudah terkenal di
masyarakat (Hidayati 2011). Terlihat bahwa orang-orang yang melakukan
pelanggaran hak merek terjadi karena adanya keinginan untuk mencari keuntungan
secara mudah. Tindakan penggunaan merek tanpa seizin yang punya dapat disebut
dengan istilah pemboncengan merek.
Pemboncengan merek dalam common law system dikenal dengan istilah passing
off. Passing off memiliki pengertian bahwa perlindungan hukum diberikan
terhadap suatu barang /jasa karena nilai dari produk tersebut telah mempunyai
reputasi. Adanya perlindungan hukum ini mengakibatkan pesaing bisnis tidak
berhak menggunakan merek, huruf-huruf dan bentuk kemasan dalam produk yang
digunakannya (Hidayati 2011).
Dari pendapat
Hidayati terlihat jika pelanggaran merek terjadi karena adanya kesengajaan dari
seseorang atau sekelompok orang secara dengan sengaja menggunakan merek yang
sudah ada –akan tetapi sering kali belum didaftakan di Indonesia-. Disisi lain
pelanggaran merek juga dapat terjadi karena masih lemahnya sistem yang dimiliki
oleh Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual. Setiarini (2012) berpendapat jika
penyebab terjadinya peniruan merek –penggunaan merek asing yang mirip- yang
mengakibatkan persaingan curang di Indonesia karena tidak adanya pedoman yang
mutlak mengenai merek terkenal. Selain itu lemahnya aparatur penegak hukum juga
memicu terjadinya pelanggaran. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Reja
Hidayat (wartawan tirto.id) dengan Kasubag Humas Ditjen KI Ardiansah
Hariawardana menyatakan jika Ditjen KI masih mengalami kekurangan SDM. Dalam
satu hari Ditjen KI dapat menerima 300 permintaan permohonan perhari. Sedangkan
jumlah pemeriksa terbatas, selain dari sisi SDM, fasilitas penunjang juga
merupakan salah satu faktor yang membuat Ditjen KI memerlukan waktu yang lama
untuk dapat mengeluarkan izin merek.
Beberapa
Kasus Sengketa yang terjadi di Indonesia selama 2016
No.
|
Penggugat
|
Tergugat
|
Merek sengketa
|
Tahun
|
Putusan
|
1
|
Prada S.A
|
PT Manggala Putra Perkasa
|
Prada
Merek terkait dalam aksesoris dan pakaian jadi
|
2016
|
Prada S.A memenangkan persidangan
|
2
|
Toyota Jidosha Kabushiki
|
Agusman Tanudi
|
Lexus (Agusman)
· Antena TV, kabel antena, antena parabola dan perangkat penerima digital
Sedangkan Lexus Toyota telah terdaftar untuk melindungi
mobil, suku cadang, dan perlengkapannya
|
2016
|
Toyota memenanglkan persidangan
|
3
|
Hugo Boss Trade Mark Management GmbH and Co. KG
|
· Teddy Tan
· Alexander Wong
|
·
Teddy Tan : Hugo Sport
·
Alexander Wong : Zego Boss
|
2016
|
Hugo Boss Trade Mark Management GmbH and Co. KG
memenangkan putusan sidang pada tingkat kasasi
|
4
|
PT Intigarmindo Persada
|
· Agus Salim
· Pemerintah RI
|
Pembatalan merek Newlois
dan Redlois.
|
2016
|
Dimenangkan oleh Agus Salim karena dia juga
mendaftarkan merek tersebut pada tahun 2005. Lois
milik Lois Trade Mark-Consultores E. Servicos S.A diajukan lebih dahulu yaitu
pada Mei 2003 dengan pemilik
hak merek PT Intigarmindo Persada
|
5
|
HTC Corporation
|
Setyabudi
Pratadaja
|
2016
|
Menyatakan gugatan
Penggugat tidak dapat diterima
|
|
6
|
Adidas
|
Jimmy Sanjaya
|
Adidas mengajukan pembatalan logo dan merek Sportment
|
2016
|
|
7
|
Cybex GmBH
|
Samuel Hadi
Winoto, Oey
|
Pengugat adalah produsen kereta dorong bayi asal Jerman
|
2016
|
|
8
|
Aeon Co. LTD
|
Panji Wisnu
Wardhani
|
2016
|
Kesimpulan
Sengketa
merek terutama berkaitan dengan barang dagang merupakan sebuah sengketa yang
masih banyak ditemukan. Dimana sengketa ini umumnya dilatarbelakangi dengan
itikad yang tidak baik. Pengguna merek tanpa seizin pemilik asli –pengguna
kedua– umumnya melakukan itu untuk mendapatkan keuntungan tanpa mau melakukan
usaha. Kegiatan ini disebut dengan istilah pendomplengan atau pemboncengan
merek. Kerugian atas tindakan ini terjadi pada produsen selaku pemilik merek
resmi dan konsumen sebagai penikmat barang. Akan tetapi pengguna kedua juga
melakukan hal itu untuk memenuhi permintaan konsumen akan terjangkaunya suatu
produk dari produsen ternama. Sehingga kesadaran dari konsumen untuk membeli
barang asli sangat diperlukan. Apabila konsumen telah memiliki kesadaran makan
akan menekan terjadinya pemalsuan atau peredaran produk tiruan. Selain itu
negara juga mengalami kerugian dari sisi pendapatan. Saat merek asli dari luar
negeri akan melakukan pelebaran pasar di Indonesia dan mereka tidak dapat mendaftarkan
mereknya karena terlebih dahulu terdaftarkan oleh pemilik lain maka itu akan
menjadi sebuah kerugian tersendiri bagi negara.
Daftar Pustaka
Dharmawati, Novi, Arini Sukma Bestari, Dianatul Fadhila.
2014. Analisis Pelanggaran Merek Dagang dalam Kasus Persamaan Bentuk Kemasan
Produk Oleh PT. Sinde Budi Sentosa (Cap Badak) Terhadap Wen Ken Drug Co (PTE)
LTD. (Cap Kaki Tiga). Privae Law.
Vol. II (5) : 14-20.
Far-Far, Charles Yeremia, Sentot P. Sigito, dan M. Zairul
Alam. 2014. Tinjauan Yuridis Pembatalan Merek Dagang Terdaftar Terkait Prinsip
Itikad Baik (Good Faith) dalam Sistem Pendaftaran Merek (Studi Peraturan Nomor
356K/Pdt.Sus-HaKI/2013). Sarjana Ilmu
Hukum.
Halomoan, Irwansyah Ockap. 2008. Perlindungan Hukum
Terhadap Pemegang Merek Dagang Terkenal Asing dari Pelanggaran Merek di
Indonesia. Skripsi Fakultas Hukum,
Universitas Sumatera Utara, Medan. Diunduh dari laman http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/
12079.
Hidayati, Nur. 2011.
Perlindungan Hukum pada Merek yang Terdaftar. Pengembangan Humaniora, Vol. 11(3) : 174-181.
Kingston, William. 2006. Trademark Registration Is Not a Rigth. Journal
of Macromarketing, Vol. 26(1) : 17-26.
Limbong, Ferry
Susanto. 2001. Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terdaftar Menurut Ketentuan
Hukum Merek Indonesia di Kota Medan. Tesis
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Diunduh dari laman http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/4855.
Mardianto, Agus. 2010. Penghapusan Pendaftaran Merek
Berdasarkan Gugatan Pihak Ketiga. Dinamika
Hukum, Vol. 10(1) : 43-50.
Mardianto, Agus. 2011. Akibat Hukum Pembatalan
Pendaftaran Merek Terhadap Penerima Lisensi Merek Menurut UU no. 15 Tahun 2001.
Dinamika Hukum, Vol. 11(3) : 460-469.
Petty, Ross D. 2011. The Condevelopment of Trademark Law
and Concept of Branding Marketing in the United States before 1946. Journal of Macromarketing, Vol. 31(1) :
85-99.
Republik Indonesia. 2001. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 110. Sekertariat Negara.
Jakarta.
Republik Indonesia. 2016. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
252. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Setiarini, Hersinta. 2012. Perlindungan Hukum Merek Asing
Terkenal Terhadap Peniruan Merek yang Menyebabkan Persaingan Curang. Skripsi Fakultas Hukum, Universitas
Indonesia, Depok. Diunduh dari laman http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315012-S42352-Perlindungan%20hukum.pdf.
Sumber Daring
Hidayat, Reja. (2016a, Oktober 14). “Tidak Ada Landasan
Tentang Definisi Merek Terkenal”. [Online] https://tirto.id/tidak-ada-landasan-tentang-definisi-merek-terkenal-bTYD.
Diakses pada 29 November 2017 pukul 22.40 WIB.
Hidayat, Reja; Wan Ulfa Nur Zuhra. (2016b, Oktober 14).
Dari Prada Hingga Toyota, Melawan Pendompleng Nama. [Online] https://tirto.id/dari-prada-hingga-toyota-melawan-para-pendompleng-nama-bT9o.
Diakses pada 29 November 2017 pukul 22.50 WIB.
Putusan MAHKAMAH AGUNG Nomor 92 K/Pdt.Sus-HKI/2017 Tahun 2017
diakses dari laman
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/b5fc12d649ad092cc3d6b03dd7fe27d1 [Online]
pada 30 November 2017 pukul 16.44 WIB.
Putusan PN JAKARTA PUSAT Nomor 13/Pdt.Sus.Merek/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst
Tahun 2016 diakses dari laman
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/ea8b90df6efd2d4ba9f1f9d f246b448a
[Online] pada 30 November 2017 pukul 16.51 WIB.
Putusan PN JAKARTA PUSAT Nomor 30/Pdt.Sus-Merek/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst
Tahun 2016 diakses dari laman
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/b746e78b2baf0e7c35a6f7f b634854e7
[Online] pada 30 November 2017 pukul 16.30 WIB.
Zuhra, Wan Ulfa Nur (2016a, Oktober 01). Mencari Akar
Sengketa Merek Indonesia. [Online] https://tirto.id/mencari-akar-sengketa-merek-indonesia-bQhz.
Diakses pada 29 November 2017 pukul 22.33 WIB.
Zuhra, Wan Ulfa Nur (2016b, Oktober 14). Keteledoran
Ditjen KI yang Berujung Sengketa Merek. [Online] https://tirto.id/keteledoran-ditjen-ki-yang-berujung-sengketa-merek-bT5R.
Diakses pada 29 November 2017 pukul 22.35 WIB.
Zuhra, Wan Ulfa Nur (2016c, Oktober 14). Sengketa Merek
dan Putusan Berbeda Para Hakim. [Online] https://tirto.id/sengketa-merek-dan-putusan-berbeda-para-hakim-bT7D.
Diakses pada 29 November 2017 pukul 22.43 WIB.
[1] www.aqua.com
[2] Wan Ulfa Nur Zuhra. 01
Oktober 2016. Mencari Akar Sengketa Merek
Indonesia. Diakses dari laman https://tirto.id/mencari-akar-sengketa-merek-indonesia-bQhz
pada 29 November 2017.
[3] Novi Dharmawati, Arini
Sukma Bestari, Dianatul Fadhila. 2014. Analisis Pelanggaran Merek Dagang dalam
Kasus Persamaan Bentuk Kemasan Produk Oleh PT. Sinde Budi Sentosa (Cap Badak)
Terhadap Wen Ken Drug Co (PTE) LTD. (Cap Kaki Tiga). Privae Law. Vol. II (5) : 14-20.
[4] Dikutip dari laman http://www.hki.co.id/merek.html
Komentar